Aceh, kopelmanews.com – Hidup jadi anak rantau itu nggak segampang yang kelihatannya. Mungkin dari luar kelihatan keren kuliah atau kerja di kota besar, jauh dari rumah, mandiri, bisa atur hidup sendiri. Tapi, di balik semua itu, ada satu hal yang sering jadi tantangan paling besar rasa jauh, bukan cuma secara fisik, tapi juga secara emosional. Salah satu penyebab utamanya? Kurangnya komunikasi dengan keluarga.Banyak dari kita ngerasa kalau “komunikasi keluarga” itu hal sepele. Cuma ngobrol lewat telepon atau kirim chat seminggu sekali, udah dianggap cukup. Padahal, buat anak rantau komunikasi itu bukan cuma soal kabar atau tanya “udah makan belum”. Itu adalah jembatan emosional yang ngebantu mereka ngerasa tetap terhubung, tetap punya tempat pulang, walau secara fisik berjauhan.
Kenapa Komunikasi Itu Penting Banget Buat Anak Rantau?
Coba bayangin kamu ada di kota yang asing, jauh dari orang-orang yang biasanya jadi support system kamu. Kamu harus mulai semuanya dari nol teman baru, lingkungan baru, rutinitas baru. Awalnya mungkin seru, tapi lama-lama pasti kerasa capek. Di saat-saat seperti gitu, komunikasi sama keluarga bisa jadi satu-satunya hal yang bikin kamu kuat. Sekedar telepon 10 menit dari orang tua bisa ngebantu banget buat ngurangin rasa sepi. Tapi sayangnya, tidak semua anak rantau punya privilege itu. Banyak juga yang ngerasa hubungan sama keluarganya makin renggang sejak mereka merantau. Bisa jadi karena sibuk, gengsi, atau bahkan ada konflik yang belum selesai dari masa lalu. Akhirnya, komunikasi jadi jarang, dan hubungan pun terasa hambar. Padahal, saat komunikasi berhenti, di situlah mulai muncul “jarak yang tak terlihat”. Bukan lagi soal jarak kota atau provinsi, tapi jarak hati.
Dampaknya ke Mental Anak Rantau
Kurangnya komunikasi dari keluarga bisa ngasih dampak besar ke kesehatan mental anak rantau. Banyak anak rantau yang mulai ngerasa sendirian, terisolasi bahkan sampai ngalamin krisis identitas. Mereka mulai bertanya-tanya: “Aku ini siapa sih?”, “Kalau aku lagi susah, siapa yang bisa aku andalkan?”, “Masih ada yang peduli nggak ya sama aku di rumah?”. Rasa sepi itu bisa berubah jadi kecemasan, overthinking, sampai depresi ringan. Apalagi kalau di perantauan mereka juga tidak punya teman dekat atau lingkungan yang suportif. Tidak jarang juga anak rantau jadi susah cerita, bahkan ngerasa tabu buat curhat soal masalah pribadi ke keluarga, karena takut dianggap manja atau tidak kuat. Kalau komunikasi udah renggang dari awal, mereka jadi makin sungkan buat mulai. Ada rasa canggung, takut salah ngomong, atau ngerasa percuma karena respon dari keluarga juga biasa aja. Hal ini bisa memperparah perasaan tidak dihargai atau tidak dianggap.
Peran Keluarga: Jangan Cuma Tuntut, Tapi Juga Dengarkan
Sering kali keluarga cuma fokus ke hasil nilai kuliah bagus, kerja yang mapan, atau mandiri secara finansial. Tapi lupa kalau proses menuju semua itu penuh perjuangan yang tidak ringan. Anak rantau butuh dukungan moral, apresiasi, dan yang paling penting rasa dimengerti. Komunikasi yang sehat dari keluarga bisa bikin anak rantau ngerasa dihargai, didengar, dan tidak sendirian. Keluarga harus mulai sadar kalau komunikasi bukan cuma soal “tanya kabar”. Tapi juga soal empati, mendengarkan tanpa menghakimi, dan membuka ruang buat anak bercerita. Kadang, anak rantau cuma butuh didengarkan tanpa harus dikuliahi. Mereka butuh dipeluk lewat kata-kata, bukan ditekan dengan ekspektasi.
Buat Anak Rantau: Jangan Takut Mulai Duluan
Di sisi lain, anak rantau juga punya peran penting buat jaga komunikasi. Kadang gengsi atau rasa kecewa bikin kita malas ngobrol duluan. Tapi kalau terus-terusan nunggu, jaraknya tidak akan pernah mengecil. Justru hubungan itu harus dijaga dari dua arah. Tidak apa-apa mulai dari hal kecil, kayak kirim pesan random, share foto makanan, atau nanya kabar adik di rumah. Kadang hal kecil bisa jadi awal dari percakapan panjang yang hangat. Tidak semua keluarga bisa langsung terbuka, tapi komunikasi itu bisa dibangun pelan-pelan. Yang penting ada niat buat tetap terhubung, walau jauh.
Kesimpulannya
Jarak Fisik Bisa Dihadapi, Tapi Jarak Emosional Harus Diatasi. Jadi anak rantau memang penuh tantangan. Tapi hal yang paling menyakitkan bukan soal jauh dari rumah, melainkan rasa tidak terhubung dengan orang-orang yang seharusnya paling dekat. Kurangnya komunikasi dalam keluarga bisa bikin anak rantau kehilangan arah, merasa sendirian, bahkan kehilangan rasa “rumah” dalam arti sebenarnya. Sudah saatnya kita semua sadar bahwa komunikasi bukan cuma soal ngobrol, tapi soal membangun hubungan. Keluarga perlu lebih terbuka dan hadir secara emosional, sementara anak rantau juga harus berani mulai duluan. Karena dalam jarak yang jauh, komunikasi adalah satu-satunya cara untuk tetap dekat.