Aceh, kopelmanews.com – Di tengah derasnya arus globalisasi dan budaya digital, remaja Muslim saat ini sering digambarkan sebagai “generasi galau” generasi yang tampak kebingungan, gelisah, dan kehilangan arah dalam membentuk identitas diri. Sebagai mahasiswa psikologi, saya semakin menyadari bahwa krisis identitas bukan sekadar persoalan fase perkembangan Erikson pada tahap “identity vs role confusion”, tetapi juga bersinggungan erat dengan aspek spiritual, budaya, dan sosial yang dialami remaja Muslim.
Menurut data dari Lembaga Psikologi Universitas Indonesia (2022), sekitar 64% remaja Muslim mengaku mengalami kebingungan dalam menentukan nilai hidup dan arah tujuan pribadi. Bahkan, survei BPS tahun 2021 menunjukkan peningkatan angka kecemasan dan kehilangan makna hidup di kalangan pelajar SMA sebesar 23% dibandingkan tahun sebelumnya. Data ini cukup mencengangkan dan menegaskan bahwa krisis identitas bukan sekadar fenomena psikologis semata, melainkan juga spiritual.
Di sinilah peran psikologi Islam menjadi sangat relevan. Berbeda dengan pendekatan Barat yang cenderung individualistis dan sekuler, psikologi Islam memandang manusia sebagai makhluk holistik yang terdiri dari jasad, akal, dan ruh. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, pembentukan identitas sejati tidak lepas dari hubungan yang sehat dengan Allah (hablum minallah), sesama manusia (hablum minannas), dan diri sendiri. Hal ini bisa menjadi solusi konkret bagi remaja Muslim yang tengah dilanda kebingungan nilai. Salah satu konsep penting dalam psikologi Islam adalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), yang menekankan pentingnya pengenalan diri (ma’rifat an-nafs) sebagai jalan menuju pengenalan Tuhan.
Ketika remaja mengenal potensi fitrahnya, seperti sifat sabar, jujur, dan ikhlas, maka ia tidak lagi mudah larut dalam krisis eksistensial karena memiliki jangkar spiritual yang kuat. Nilai ini sejalan dengan temuan penelitian Nurhayati (2020), yang menunjukkan bahwa remaja yang rutin mengikuti kegiatan rohani Islam (seperti halaqah atau mentoring) memiliki tingkat kestabilan identitas dan harga diri yang lebih baik.
Sebagai mahasiswa, saya pun melihat bahwa tantangan remaja hari ini bukan hanya pada kurangnya literasi agama, tetapi juga pada minimnya ruang dialog antara nilai modern dan spiritual. Banyak yang merasa harus memilih antara menjadi “kekinian” atau “taat”, padahal keduanya bisa dikolaborasikan dalam kerangka identitas Muslim yang sehat. Di sinilah pentingnya pendekatan psikologi Islam yang tidak menghakimi, tetapi merangkul dan membimbing dengan kasih.
Akhir kata, generasi galau tidak selalu berarti generasi lemah. Mereka hanya butuh arahan yang tepat bukan hanya dari sisi psikologi modern, tapi juga dari warisan nilai-nilai Islam yang mampu menyeimbangkan akal dan hati. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali psikologi Islam sebagai jembatan bagi remaja Muslim untuk menemukan jati dirinya di tengah dunia yang semakin kehilangan arah. Namun, tentu tidak cukup hanya menyampaikan konsep yang lebih penting adalah bagaimana psikologi Islam diterapkan secara praktis dalam kehidupan remaja.
Salah satu bentuk aplikatifnya adalah melalui pendekatan counseling islami, di mana konselor atau pendamping bukan hanya bertindak sebagai fasilitator, tapi juga sebagai penuntun spiritual. Proses ini mencakup muhasabah (refleksi diri), tadabbur ayat-ayat AlQur’an yang relevan, serta penguatan nilai tawakal, syukur, dan ridha dalam menghadapi tantangan identitas diri.
Dalam praktik di lapangan, pendekatan ini terbukti efektif. Sebuah penelitian di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (Hidayati, 2021) menemukan bahwa remaja yang menjalani konseling berbasis nilai-nilai Islam menunjukkan penurunan signifikan dalam gejala kecemasan identitas dan peningkatan makna hidup. Salah satu subjek bahkan mengungkapkan bahwa memahami konsep “Allah menciptakan manusia tidak sia-sia” (Q.S. Al-Mu’minun: 115) membuatnya merasa berharga dan punya arah yang jelas dalam hidup. Tentu saja, tantangan tidak mudah.
Lingkungan sosial yang permisif, tekanan media sosial yang menampilkan “versi ideal” diri orang lain, serta narasi-narasi Barat yang mendewakan kebebasan tanpa batas seringkali membuat remaja Muslim semakin kehilangan keseimbangan. Bahkan, tidak sedikit yang mulai merasa bahwa nilai-nilai Islam itu ketinggalan zaman atau membatasi ekspresi diri. Padahal, dalam kenyataannya, Islam justru sangat peduli dengan perkembangan potensi manusia secara utuh, tidak hanya aspek spiritual, tapi juga intelektual dan emosional.
Sebagai mahasiswa psikologi, saya meyakini bahwa pendekatan lintas disiplin antara psikologi modern dan nilai-nilai Islam bukan hanya bisa berdampingan, tapi saling menguatkan. Ketika remaja Muslim diajak mengenali dirinya lewat lensa spiritualitas yang humanis bukan sekadar doktrin yang kaku maka identitas mereka akan tumbuh bukan karena paksaan, tapi karena kesadaran yang lahir dari pemahaman dan pengalaman batin yang mendalam. Maka, pertanyaan pentingnya bukan lagi “mengapa remaja galau?”, tapi “apakah kita sudah menyediakan ruang yang cukup aman dan bermakna bagi mereka untuk mencari jati diri mereka sendiri?”
Psikologi Islam bukan solusi instan, tapi ia bisa menjadi pijakan yang kokoh di tengah krisis identitas yang makin kompleks ini. Dan sebagai generasi yang sedang belajar, saya merasa punya tanggung jawab untuk menghidupkan kembali pendekatan ini tidak hanya di ruang akademik, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.