Aceh, kopelmanews.com – Uang, dalam segala bentuk dan rupa, selalu hadir di tengah kehidupan manusia bukan karena ia berharga secara hakiki, melainkan karena kita semua sepakat untuk mempercayainya. Selembar kertas, kepingan logam, atau bahkan sekadar angka di layar ponsel bisa menggerakkan ekonomi global karena jutaan bahkan miliaran orang memperlakukan simbol itu seolah-olah nyata. Namun, di balik kepercayaan kolektif itu tersembunyi fakta penting yang sering dilupakan: uang tidak pernah memiliki nilai tetap, dan ia bisa mengkhianati siapa saja yang terlalu percaya padanya.
Sejarah penuh dengan momen-momen ketika janji uang runtuh. Salah satu contoh paling mencolok adalah hyperinflasi di Jerman tahun 1923, ketika harga kebutuhan pokok melonjak ribuan kali lipat hanya dalam hitungan minggu. Rakyat yang menabung seumur hidupnya mendapati simpanan mereka tak bisa membeli sepotong roti pun. Apa yang dulunya dianggap sebagai “jaminan hidup” tiba-tiba menjadi simbol kehancuran. Uang, yang katanya stabil dan pasti, telah berubah menjadi alat penderitaan massal. Ini bukan karena kertasnya berubah, tapi karena kepercayaan kolektif terhadap nilainya lenyap.
Kasus serupa terjadi di Zimbabwe pada awal 2000-an dan juga di berbagai negara lain seperti Venezuela dan Argentina. Ketika pemerintah mencetak uang tanpa kontrol, mengabaikan realitas produksi dan distribusi, rakyat akhirnya menerima uang yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Dalam konteks ini, uang bukan lagi janji yang bisa diandalkan, tetapi alat ilusi yang menyamar sebagai solusi.
Uang juga sering digunakan sebagai alat kekuasaan, untuk membungkam, mengendalikan, dan bahkan menjajah. Pada masa kolonialisme, mata uang kolonial bukan hanya sekadar alat tukar, melainkan simbol dominasi kekuasaan asing atas sistem ekonomi lokal. Dalam banyak kasus, uang lokal dihapus dan diganti dengan uang kolonial yang nilainya hanya berlaku karena pemerintah kolonial mengancam atau memaksa orang untuk mempercayainya. Dalam konteks ini, uang benar-benar menjadi janji sepihak yang menindas.
Dan hari ini, dalam era digital, kepercayaan terhadap uang semakin abstrak. Uang tidak lagi berupa benda yang bisa disentuh, tetapi kode-kode dalam sistem perbankan dan pasar digital. Kita diminta mempercayai sistem yang tidak kita pahami sepenuhnya. Satu gangguan kecil—crash sistem, kebijakan bank sentral, atau manipulasi pasar—dapat meruntuhkan seluruh fondasi nilai yang kita pegang. Sekali lagi, kepercayaan adalah pondasi utama. Dan pondasi ini sangat rapuh.
Lebih ironis lagi, uang telah menjadi tuhan sosial dalam kehidupan modern. Ia menjadi tolok ukur sukses, sumber kekuasaan, bahkan dasar harga diri manusia.