Aceh, kopelmanews.com – Di era media sosial yang dipenuhi konten “healing dulu biar waras”, tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan aktivitas healing sebagai bagian dari gaya hidup. Pergi ke pantai, staycation, quality time bareng teman, hingga sekadar ngopi sambil dengar lagu sering disebut sebagai bentuk self-healing. Tapi, apakah benar semua itu murni untuk memulihkan diri atau sebenarnya hanya cara menunda kenyataan?
Fenomena ini menarik untuk dibedah dari sudut pandang psikologi. Dalam teori coping mechanism, ada dua jenis cara manusia menghadapi stres: problem-focused coping (berusaha menyelesaikan masalahnya langsung), dan emotion-focused coping (berusaha menenangkan diri dari emosi negatif). Nah, healing sering masuk ke kategori kedua. Karena manusia memang butuh jeda untuk menenangkan diri. Tapi masalah muncul ketika jeda itu berubah menjadi pelarian tanpa arah.
Sebagian mahasiswa hari ini menjadikan healing sebagai rutinitas tanpa pemulihan. Tugas menumpuk, hubungan personal berantakan, finansial kacau tapi semua itu dihindari dengan alasan “aku lagi butuh waktu untuk diri sendiri”. Padahal, semakin lama ditunda, semakin berat beban yang harus dihadapi nanti. Inilah yang disebut sebagai self-delaying: ketika healing bukan lagi proses penyembuhan, tapi justru menunda proses dewasa.
Ada juga tekanan sosial yang tidak terlihat. Ketika time line dipenuhi orang-orang yang healing ke tempat estetik, mahasiswa lain jadi merasa “kurang” kalau tidak ikut-ikutan. Padahal, setiap orang punya cara pulih yang berbeda. Healing seharusnya tidak harus mahal, tidak harus viral, dan yang pasti: tidak harus jadi alasan untuk lari dari kenyataan. Fenomena ini makin rumit karena standar “healing yang ideal” seolah-olah ditentukan oleh media sosial. Seakan-akan, healing itu baru sah kalau dilakukan di tempat estetik, pakai outfit kece, dan diunggah di sosial media. Tanpa disadari, ini menambah tekanan psikologis bagi mahasiswa yang merasa belum mampu “healing” dengan cara seperti itu. Padahal, inti dari self-healing bukan terletak pada tampilannya, tapi pada dampaknya: apakah setelahnya kita merasa lebih tenang, lebih jernih, dan lebih siap menjalani hari-hari?
Karena pada akhirnya, self-healing yang sehat adalah yang membantu kita kembali kuat menghadapi hidup, bukan sekadar kabur sebentar terus balik lagi dengan masalah yang sama. Maka, sebelum bilang “aku butuh healing”, coba tanya dulu ke diri sendiri: aku sedang menyembuhkan… atau sedang menunda.