Aceh, kopelmanews.com – Seiring masifnya adopsi tekonologi dalam dunia pendidikan, ada satu pertanyaan fundamental yang kerap luput dari perbincangan: apakah teknologi benar-benar membuat siswa lebih paham, atau hanya sekadar membuat proses belajar tampak kemodernan dan takut di klaim sebagai orang yang ketinggalan?
Sebelum membahas kolaborasi teknologi dan teori kognitif, perlu di ketahui bahwa Teknologi merupakan wujud pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk merancang alat, sistem, maupun metode yang bertujuan mempermudah manusia dalam menyelesaikan berbagai tugas secara lebih cepat dan optimal. Sedangkan kognitif yaitu merujuk pada segala proses yang berkaitan dengan pemikiran, pengetahuan, dan pemahaman manusia. Ini mencakup berbagai aktivitas mental yang melibatkan cara kita memperoleh, mengolah, menyimpan, dan menggunakan informasi.
Adopsi tekonologi dalam pendidikan menekankan perlu di olah secara kognitif. Sebab di lapangan tidak semua inovasi teknologi membawa dampak signifikan terhadap pemahaman siswa. Beberapa sekolah telah menggunakan aplikasi pembelajaran, hingga platform e-learning, namun hasil belajar tetap stagnan.
Hal ini perlu di renungi: masalahnya bukan pada kurangnya teknologi, melainkan pada bagaimana teknologi di jalankan dengan fondasi teoritis yang menyertainya.
Salah satu pendekatan yang terlupakan namun sangat relevan adalah Cognitive Load Theory, Teori ini berbicara tentang bagaimana manusia memproses informasi di dalam working memory, yang kapasitasnya terbatas. Ketika manusia dibanjiri informasi tanpa struktur yang jelas atau kebanyakan elemen visual yang membingungkan, mereka justru gagal melahirkan pemahaman yang bermakna. Di sinilah dasarnya, sebaik apapun tampilannya, bisa menjadi kontraproduktif jika tidak selaras dengan prinsip kognitif.
Ironisnya, banyak pengembang media pendidikan hanya berfokus pada sisi estetika dan interaktivitas, tapi melupakan struktur logis penyampaian informasi. Sebuah video animasi yang keren belum tentu membantu siswa memahami konsep abstrak seperti Qawa’id (tata bahasa Arab), kecuali dirancang dengan prinsip sederhana, pemecahan konten menjadi bagian penting, dan penyajian visual yang mendukung proses berpikir jernih, bukan sekadar menarik perhatian.
Dalam konteks ini, kolaborasi antara teknologi dan Cognitive Load Theory bukan sekadar kombinasi, tetapi simbiosis yang strategis.
Alih-alih, pendekatan seperti ini belum menjadi fonasi utama dalam pengembangan kurikulum atau kebijakan pendidikan. Sebagian besar pengajar belum dibekali pengetahuan tentang desain instruksional berbasis teori kognitif. Jika ini terus dibiarkan begitu saja, maka teknologi hanya akan menjadi “hiasan saja” yang mengilusi kemajuan, tanpa perubahan substansial.
Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya membuat siswa di papari informasi, tapi menjadikan mereka memahami dan mampu menerapkan informasi tersebut. Dan itu hanya bisa dicapai jika teknologi dan teori kognitif berjalan secara beriringan, saling melengkapi, dan di aplikasikan secara tepat.