Aceh, kopelmanews.com – Kita sering mendengar tentang pentingnya seorang ibu dalam keluarga. Kasih sayang dan perhatian ibu dianggap sebagai fondasi utama bagi perkembangan anak. Namun, sering kali kita melupakan peran ayah. Padahal, kehadiran seorang ayah, baik secara fisik maupun emosional, juga krusial bagi keseimbangan keluarga dan masa depan anak-anak.
Bahkan akhir-akhir ini Indonesia mendapat peringkat fatherless 3 tertinggi di dunia. Hal ini dapat di buktikan pada data dari UNICEF pada tahun 2021, sekitar 20,9 persen anak Indonesia kehilangan peran dan kehadiran ayah dalam keseharian mereka. Sementara itu, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam periode yang sama, hanya 37,17 persen anak usia 0,5 tahun yang diasuh secara penuh oleh kedua orang tua, baik ibu maupun ayah. Sehingga hal ini terbukti bahwa masih adanya kesenjangan signifikan dalam peran pengasuhan orang tua, khususnya peran seorang ayah.
Indonesia masih beranggapan bahwa kewajiban laki-laki yaitu mencari nafkah sedangkan urusan rumah kewajiban perempuan. Doktrin seperti ini yang membuat ketidaksetaraan gender tinggi sehingga menyebabkan fatherless banyak ditemukan di Indonesia.
Apa sih, Fatherless itu?
Nah, jadi fatherless adalah sebuah fenomena ketidakhadiran peran seorang ayah terhadap tumbuh kembang anaknya baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini terjadi karena kurangnya kepekaan terhadap tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya. Fatherless tidak semata-mata merujuk pada anak-anak yang tumbuh tanpa ayah secara fisik akibat perceraian, kematian, atau kepergian. Lebih dari itu, fatherless mencakup situasi di mana seorang ayah hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kurang terlibat dalam kehidupan anak, atau tidak mampu menjalin hubungan yang sehat dan suportif, juga dapat menciptakan jurang fatherless yang sama. Dalam kondisi ini, anak merasa kehilangan figur ayah yang seharusnya menjadi panutan, pembimbing, dan sumber rasa aman. Ketidakhadiran ayah secara emosional dapat menimbulkan dampak negatif pada perkembangan anak, seperti masalah perilaku, kesulitan dalam belajar, rendahnya motivasi, hingga masalah emosional seperti depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, penting bagi para ayah untuk menyadari peran penting mereka dalam pengasuhan anak dan berupaya untuk hadir secara utuh, baik fisik maupun psikologis, dalam kehidupan anak-anak mereka.
Dampak Fatherless terhadap Anak
Kehilangan sosok ayah dapat memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan emosional anak. Adapun dampak yang lain seperti:
- Kurang percaya diri
Kehilangan figur ayah berpotensi menurunkan rasa percaya diri seorang anak karena beberapa alasan. Pertama, ayah seringkali menjadi sumber dukungan emosional dan praktis. Tanpa kehadirannya, anak mungkin merasa kurang aman dan tidak memiliki tempat untuk mencari nasihat atau bantuan saat menghadapi tantangan. Kedua, ayah seringkali menjadi teladan penting, terutama bagi anak laki-laki. Anak belajar tentang peran gender, nilai-nilai, dan keterampilan hidup dengan mengamati dan meniru perilaku ayah mereka. Ketiadaan figur teladan ini dapat membuat anak merasa kehilangan arah dan kurang yakin dengan kemampuan mereka sendiri. Ketiga, dalam banyak keluarga, ayah memiliki peran otoritas. Kehilangan figur otoritas ini dapat menyebabkan anak merasa kurang disiplin dan kurang mampu mengendalikan diri, yang pada akhirnya dapat memengaruhi rasa percaya diri mereka dalam berbagai situasi sosial dan akademis. Dengan demikian, absennya figur ayah dapat menciptakan kekosongan yang signifikan dalam kehidupan seorang anak, yang berdampak negatif pada perkembangan rasa percaya dirinya.
- Rawan terlibat dalam kekerasan
Anak-anak yang tumbuh besar tanpa kehadiran ayah sering kali lebih berisiko terlibat dalam kekerasan, entah sebagai pelaku atau korban. Hal ini bisa terjadi karena mereka mungkin kekurangan sosok pelindung dan pengawas yang stabil seperti yang biasanya diberikan oleh seorang ayah. Tanpa kehadiran ayah, mereka jadi lebih rentan terhadap pengaruh buruk dan kurang memiliki panutan yang kuat untuk menghindari perilaku agresif atau situasi berbahaya.
- Kesulitan dalam bersosialisasi
Anak yang tidak memiliki figur ayah yang baik bisa jadi kesulitan belajar cara bergaul dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Sosok ayah penting sebagai contoh bagaimana berinteraksi dalam masyarakat.
- Penurunan kemampuan akademis
Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah sering kali menghadapi tantangan dalam hal pendidikan dan proses belajar mereka. Hal ini disebabkan oleh minimnya dukungan serta motivasi akademis yang berkelanjutan. Ketidakhadiran seorang ayah dapat mengakibatkan kurangnya bimbingan yang diperlukan untuk membantu anak-anak dalam mencapai potensi mereka di sekolah. Tanpa dorongan yang konsisten, anak-anak mungkin merasa kurang percaya diri atau kehilangan semangat untuk belajar, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi prestasi akademis mereka. Dukungan emosional dan intelektual dari seorang ayah sering kali menjadi faktor penting dalam perkembangan pendidikan anak, sehingga ketidakadaan sosok ini dapat menciptakan kesenjangan dalam pengalaman belajar mereka.
Menurut saya, fenomena fatherless atau ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun psikologis, dapat memberikan dampak yang berbeda pada setiap anak. Penting untuk menyadari dampak negatif ini dan berupaya untuk memperbaikinya. Perubahan dapat dimulai dengan memberikan perhatian, bimbingan, dan dukungan kepada anak-anak yang tumbuh tanpa peran ayah, meskipun tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran seorang ayah
Mitos dan Fakta tentang Fatherless
Fatherless, atau kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa kehadiran fisik atau emosional seorang ayah, seringkali dikaitkan dengan berbagai stigma negatif. Mitos yang umum berkembang di masyarakat adalah anak-anak yang mengalami fatherless cenderung menjadi nakal dan tidak terkontrol, seolah perceraian atau kepergian ayah secara otomatis membentuk karakter negatif pada anak. Tak jarang, terdengar komentar seperti, “Orang tuanya cerai, jadi dia ikut ibunya, makanya nakal,” atau “Ayahnya meninggal, jadi dia tinggal sama ibunya, tidak tahu anaknya di luar seperti apa.” Opini tersebut menggambarkan bahwa ketidakhadiran ayah dianggap sebagai penyebab utama kenakalan remaja.
Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Tidak semua anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless menjadi nakal atau berperilaku buruk. Banyak dari mereka justru termotivasi untuk meraih kesuksesan, menjadikan pengalaman fatherless sebagai pemicu semangat untuk tidak mengulangi pengalaman pahit orang tua mereka. Mereka bertekad untuk membuktikan bahwa tanpa sosok ayah pun, mereka bisa meraih yang terbaik dan memberikan yang terbaik bagi diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah bukanlah vonis, melainkan tantangan yang dapat diatasi dengan motivasi dan tekad yang kuat.