Aceh, kopelmanews.com – Apa arti menjadi cantik di zaman sekarang? Di balik wajah yang dihiasi senyum dan foto yang tampak “sempurna”, tersembunyi tekanan sosial yang menghimpit. Banyak orang, terutama perempuan, merasa harus mengejar versi kecantikan yang ditentukan oleh orang lain.
Kecantikan bukan konsep yang statis. Dalam budaya Jawa klasik, perempuan dianggap anggun jika memiliki kulit kuning langsat, rambut panjang, dan gerakan lembut. Sementara di budaya Barat, wanita dengan tubuh ramping dan tinggi sering dianggap ideal. Namun kini, globalisasi dan dominasi budaya pop Barat mempersempit definisi kecantikan ke satu bentuk yang homogen: kulit putih, tubuh ramping, wajah simetris, dan bebas jerawat. Instagram, TikTok, dan platform lainnya menjadi “etalase” digital tempat orang memajang versi terbaik diri mereka. Filter wajah, aplikasi editing tubuh, dan algoritma yang mempromosikan konten-konten tertentu menciptakan standar tidak realistis tentang kecantikan.
Fenomena ini membuat banyak orang merasa harus selalu terlihat “sempurna”. Mereka jadi merasa kurang percaya diri karena kulitnya tidak sehalus selebgram atau bentuk tubuhnya tidak seperti model. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial seringkali bukan kenyataan, melainkan hasil editan atau filter. Akibatnya, kita jadi punya gambaran yang salah tentang apa itu penampilan “normal”.
Pengejaran akan kesempurnaan fisik membawa dampak psikologis yang nyata. Banyak individu mengalami gangguan citra tubuh, merasa jijik, malu, atau tidak percaya diri terhadap penampilannya sendiri. Ini bisa berkembang menjadi gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, depresi, hingga gangguan kecemasan.
Purbasari (2019) mengemukakan Body image adalah gambaran mental individu terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya. Body image juga terkait dengan persepsi dan penilaian individu atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap tubuhnya, baik bentuk maupun ukuran. Terdapat dua macam body image, yaitu body image positif dan body image negative. Body image positif adalah persepsi yang benar tentang bentuk tubuh yang dimiliki dan merasa nyaman dengan hal tersebut. Sedangkan body image negatif adalah persepsi yang menyimpang dari bentuk yang dimiliki dan cenderung merasa malu dan tidak dapat menerima kondisi tersebut.
Individu yang tidak percaya diri akan bentuk tubuhnya, cenderung memiliki body image negatif. Kondisi tersebut tentunya akan mempengaruhi kesehatan mental, seperti munculnya kecenderungan depresi dan kecemasan terutama terkait dengan hubungansosial. Tidak jarang masalah tersebut berimbas pada distorsi bentuk tubuh yang lebih parah, seperti body dismorfic disorder, atau gangguan psikologis lainnya seperti gangguan makan, yaitu bulimia nervosa dan anoreksia nervosa.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kostanski dan Gulleno dalam Devi and Dian (2015) menyatakan bahwa ketidak puasaan citra tubuh berhubungan negatif dengan harga diri tetapi ketidak puasaan citra tubuh berhubungan positif dengan kecemasan dan depresi terhadap massa tubuh.
Meski tekanan sangat kuat, banyak orang mulai melawan secara batin. Gerakan seperti body positivity muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi sempit kecantikan. Menurut Virgie Tovar, gerakan body positivity bukan sekadar tentang mencintai tubuh, tapi juga tentang membongkar sistem penindasan yang membuat orang merasa tubuhnya salah hanya karena tidak sesuai standar kecantikan dominan. Gerakan ini memiliki banyak tujuan, di antaranya yang paling penting adalah mendobrak standar kecantikan yang tercipta di masyarakat, yang tidak realitis dan mengungkung, khususnya kepada wanita. Bahwa sebenarnya, setiap bentuk tubuh dan setiap manusia yang ada di dunia ini layak untuk dihargai, dihormati, dan diterima seperti seharusnya. Namun, body positivity bukan hanya tentang menantang cara masyarakat memandang orang berdasarkan ukuran dan bentuk fisik mereka. Body positivity juga mengakui bahwa penilaian seringkalikali dibuat berdasarkan ras, jenis kelamin, seksualitas, dan disabilitas seseorang.
“Loving your body is a revolutionary act in a world that teaches you to hate it.”
Kesimpulan
Kecantikan di zaman sekarang bukan lagi sekadar soal penampilan, melainkan telah menjadi standar sosial yang menekan dan menyulitkan banyak individu, terutama perempuan. Standar ini, yang dipersempit oleh pengaruh budaya Barat dan media sosial, menciptakan gambaran sempit tentang tubuh ideal kulit putih, tubuh ramping, dan wajah tanpa noda yang jauh dari kenyataan mayoritas orang. Akibatnya, banyak orang mengalami ketidak puasan terhadap tubuhnya sendiri yang berdampak pada kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, hingga gangguan makan. Konsep body image menjadi kunci penting dalam memahami bagaimana seseorang menilai dan merasakan tubuhnya sendiri. Ketika persepsi ini negatif, dampaknya bisa sangat merusak secara psikologis.
Namun di tengah tekanan tersebut, muncul gerakan perlawanan seperti body positivity. Gerakan ini tidak hanya mendorong individu untuk mencintai tubuh mereka, tetapi juga menantang struktur sosial yang menilai seseorang hanya dari fisik. Body positivity mengajarkan bahwa setiap tubuh berhak dihormati dan diterima tanpa syarat, terlepas dari ukuran, warna kulit, gender, orientasi seksual, atau kondisi fisik.