Aceh, kopelmanews.com – Self-harm bukan hanya berbicara tentang sebuah luka di kulit, melainkan sebuah jeritan dari hati kita yang tidak terdengar oleh orang lain. Belakangan ini banyak remaja ingin melukai diri nya sendiri namun bukan dikarenakan ingin mati, tetapi ingin meredakan rasa sakit batin yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.
Luka-luka tersebut menjadi pelampiasan emosi nya masing masing, seperti marah pada diri sendiri, kecewa dengan harapan yang tidak sesuai. Sayangnya, jeritan itu sering tak terdengar, karena mereka memilih menyimpannya rapat- rapat, entah karena malu, takut, atau merasa tidak ada yang mau mendengarkan. Luka-luka di tubuh yang sengaja mereka buat bukanlah sekadar luka biasa.
Luka itu adalah simboldarisakit yang taktertahankan, beban yang takterucapkan, danrasa putus asa yang mereka sembunyikan. Apa itu self-harm dan mengapa terjadi Self-harm adalah suatu jalan keluar bagi mereka yang mereka temukan untuk melampiaskan suatu rasa sakit yang besar dan tidak tertahankan.
Luka fisik yang mereka buat di tubuh mereka sendiri adalah suatu pelarian ketika sebuah kata-kata saja tidak bisa lagi untuk meredakan amarah, dan kesedihan. Dalam waktu singkat, rasa sakit di kulit seperti tidak ada dikarenakan rasa sakit hati yang begitu besar, meski hanya sementara. Namun, setelah rasa lega itu hilang, yang tersisa adalah rasa penyesalan, rasa bersalah, dan menambah luka batin yang mendalam. Sayangnya, mereka sudah terbiasa untuk melakukan hal ini, sehingga mereka sulit untuk berhenti,dikarenakan self-harm tersebut menurut mereka adalah jawaban dari sebuah rasa sakit batin yang tidak bisa diungkapkan.
Inilah mengapa kita perlu membuka mata dan hati, bukan hanya menghakimi, tapi mencoba memahami.
Faktor pemicu pada remaja
Ada beberapa faktor yang mendorong remaja untuk melakukan self-harm, dan biasanya bukan hanya satu faktor saja. Tekanan dari sekolah, tuntutan untuk mendapatkan nilai tinggi, serta biasanya dikalangan remaja adalah putus cinta sehingga semua itu adalah beban yang mereka tumpuk dipikiran mereka.
Belum lagi jika keadaan rumah yang tidak mendukung seperti penuh dengan pertengkaran, tanpa adanya kasih sayang, dan juga mereka tidak pernah didengar. Konten tentang self-harm, curhatan orang lain, atau bahkan komunitas yang secara tidak langsung membenarkan perilaku ini, membuat mereka merasa self-harm adalahsatu-satunya cara untuk merasa “hidup” atau sekadar merasa diperhatikan, walau hanya oleh diri sendiri.
Bahaya dan dampak self-harm
Bahaya dari self-harm sendiri lebih besar daripada luka yang terlihat di kulit. Luka mungkin memang bisa sembuh, tetapi bekasnya bisa lama untuk hilang, mengingatkan mereka pada masa masa yang sulit untuk dilupakan. Dan lebih dari itu, self-harm memberikan masalah yang lebih serius: luka yang parah, resiko infeksi di luka, bahkan self-harm sendiri bisa menyebabkan keinginan mengakhiri hidupnya sendiri.
Dampak mentalnya bahkan lebih berat, semakin sering melukai diri sendiri, maka semakin besar juga rasa malu, rasa benci terhadap diri sendiri. Ini merupakan suatu hal yang mengerikan, karena mereka merasa tak ada lagi jalan untuk keluar selain terus melukai diri. Padahal, yang mereka butuhkan hanyalah seseorang yang benar-benar peduli, yang mau mendengar tanpa menghakimi, yang mau hadir tanpa menyalahkan.
Peran keluarga dan lingkungan
Kadang kita lupa bahwa remaja tidak butuh orang yang selalu menasihati atau memarahi mereka setiap kali mereka berbuat salah. Yang mereka butuhkan adalah orang yang mau duduk bersama mereka, mendengarkan mereka bercerita tanpa langsung menghakimi, dan memberi rasa aman bahwa apa pun yang mereka rasakan itu tidak salah untuk diungkapkan.
Keluarga dan orang terdekat seharusnya menjadi tempat pertama bagi mereka untuk bersandar, tapi sayangnya sering justru jadi tempat yang paling mereka hindari karena takut dimarahi atau dianggap lemah. Padahal, satu pelukan hangat, satutelingayangmaume dengar-dengar sabar, kadang lebih menyembuhkan daripada seribu kata-kata bijak.
Harapan dan upaya pencegahan
mencegah self-harm bisa dimulai dengan hal-hal yang gampang dan bisa dilakukan oleh siapa aja. Dari keluarga bisa mulai dengan lebih meluangkan waktu dengan anaknya, bukan hanya menanyakan tentang nilai atau tugas sekolah, tapi mendengar cerita dari mereka, keluh kesah mereka, bahkan diam nya mereka agar mereka terbuka. Di sekolah juga jangan hanya berfokus dengan pendidikan dan prestasi akademik, namun juga memberikan ruang untuk mereka bercerita sehingga mereka merasa nyaman disekolah.
Di media sosialperlu diisidengan lebih banyak konten positif yang menginspirasi, bukan malah membenarkan self-harm sebagai cara untuk mengatasi masalah. Dan yang terpenting, kita semua perlu berhenti menganggap bicara soal kesehatan mental sebagai hal yang tabu. saat anak-anak merasa aman untuk bercerita, mereka tak lagi butuh melukai diri untuk menenangkan perasaan.
Penutup
Self-harm bukanlah sesuatu yang harus kita abaikan atau anggap sepele. Di balik setiap luka yang dibuat seorang remaja, ada cerita panjang yang mungkin tidak pernah kita tahu. Jangan menunggu sampai luka itu terlalu dalam dan sulit untuk disembuhkan. Mari mulai dari diri kita sendiri: jadilah teman, jadilah pendengar, jadilah orang yang hadir tanpa diminta. Tidak perlu menunggu jadi ahli untuk bisa menolong. Terkadang, cukup dengan mendengar dengan tulus dan hadir sepenuh hati, kita sudah memberi harapan baru bagi mereka yang nyaris putus asa. Jangan biarkan mereka terus berteriak dalam diam. Mari kita rangkul mereka sebelum terlambat.