Aceh, kopelmanews.com – Fenomena sosial terbaru dengan tagar #KaburAjaDulu kini ramai diperbincangkan di media sosial. Tagar ini mencerminkan keresahan dan kekecewaan generasi muda Indonesia terhadap kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang semakin tidak menentu. Banyak anak muda yang merasa frustasi dengan situasi dalam negeri, sehingga mulai mempertimbangkan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, baik melalui jalur pendidikan, pekerjaan, maupun migrasi permanen.
Tren ini mulai merebak akhir-akhir ini, ketika berbagai unggahan di platform X (sebelumnya Twitter), Instagram, dan TikTok memperlihatkan anak muda yang berbagi informasi tentang peluang beasiswa, pekerjaan, dan kehidupan di luar negeri. Dari unggahan-unggahan tersebut, terlihat jelas bahwa banyak di antara mereka yang merasa tidak memiliki masa depan cerah di Indonesia. Situasi ini semakin diperburuk dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok, kebijakan pajak yang dinilai memberatkan, serta sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang layak.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia masih mencapai 7,47 juta jiwa, mayoritasnya adalah anak muda usia produktif. Selain itu, gaji rata-rata pekerja di Indonesia hanya sekitar Rp3,27 juta per bulan, angka yang jauh dari cukup untuk memenuhi biaya hidup di kota-kota besar. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang menawarkan gaji lebih tinggi dan lingkungan kerja yang lebih kondusif, tidak mengherankan jika banyak profesional muda Indonesia lebih memilih untuk “kabur” daripada bertahan dalam situasi yang tidak pasti.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Oki Rahadianto Sutopo, menilai bahwa tren #KaburAjaDulu merupakan bentuk refleksi dari ketimpangan sosial dan ekonomi global yang kini semakin disadari oleh generasi muda. Dengan akses internet yang luas, mereka bisa melihat secara langsung bagaimana kehidupan di negara lain bisa lebih menjanjikan. Mereka pun mulai mempertanyakan, mengapa Indonesia tidak bisa memberikan kesempatan yang sama bagi rakyatnya?
Namun, fenomena ini bukan hanya sekadar refleksi sosial, tetapi juga cerminan dari kegagalan pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kesejahteraan masyarakat, khususnya generasi muda. Selama ini, janji-janji mengenai peningkatan lapangan kerja, kesejahteraan tenaga kerja, dan kemudahan akses pendidikan sering kali hanya menjadi wacana tanpa realisasi yang nyata. Kasus korupsi yang terus terjadi, kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, serta minimnya keberpihakan kepada inovasi dan industri kreatif membuat anak muda semakin kehilangan harapan terhadap masa depan mereka di Indonesia.
Kritik terhadap pemerintah semakin menguat ketika banyak pihak menyadari bahwa tren ini bisa memicu fenomena “brain drain”, di mana tenaga kerja dan individu berkualitas tinggi memilih untuk pergi ke luar negeri dan membangun karier di sana, alih-alih berkontribusi untuk Indonesia. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam beberapa dekade mendatang, Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaiknya, sementara negara lain justru mendapat keuntungan dari tenaga kerja kita.
Baca Juga:
https://kopelmanews.com/mahasiswa-vokasional-teknik-mesin-magang-di-pt-pupuk-iskandar-muda/
https://kopelmanews.com/inspired-teacher-dan-implementasi-deep-learning-tantangan-bagi-guru/
Psikolog klinis, Dr. Rina Hartanto, mengungkapkan bahwa meskipun mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri adalah pilihan yang valid, penting bagi generasi muda untuk tetap mempertimbangkan dampaknya dalam jangka panjang. Menurutnya, jika masalah utama adalah kekecewaan terhadap sistem di Indonesia, maka yang perlu didorong adalah perubahan sistem tersebut, bukan hanya sekadar lari dari permasalahan.
Namun, pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia mendengarkan aspirasi anak muda? Ataukah mereka justru akan terus abai dan membiarkan tren #KaburAjaDulu semakin meluas? Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret dalam memperbaiki ekonomi, menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak, serta memberantas korupsi secara serius, maka tidak menutup kemungkinan bahwa fenomena ini akan menjadi gelombang besar yang semakin sulit dihentikan.
Pemerintah perlu sadar bahwa anak muda bukan sekadar angka dalam statistik, tetapi mereka adalah masa depan bangsa. Jika terus diabaikan, maka bukan tidak mungkin suatu hari nanti, Indonesia hanya akan menjadi “tempat lahir” bagi warganya, tetapi bukan lagi “rumah” yang ingin mereka tinggali.
(AN)