Aceh, kopelmanews.com – Aceh dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi menerapkan syariat Islam. Salah satu bentuk nyata penerapan ini adalah kewajiban menutup aurat bagi perempuan Muslim. Namun, beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran dalam cara berhijab sebagian gadis Aceh. Sebuah pemandangan yang kian hari makin akrab terlihat di jalan-jalan, dan media sosial: perempuan berjilbab tanpa peniti yang memperlihatkan bagian rambut, poni yang sengaja dibiarkan tampak, hingga penggunaan turban yang menampakkan sebagian leher.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk kebebasan berekspresi atau bentuk ketidaktundukan terhadap aturan yang telah ditetapkan? Pada dasarnya, menutup aurat bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga bagian dari identitas dan budaya masyarakat Aceh. Maka, ketika makna hijab direduksi hanya menjadi gaya berpakaian, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan semakin luntur.
Tren berhijab ala selebriti dan influencer media sosial menjadi salah satu penyebab utama pergeseran ini. Dalam budaya digital yang serba cepat dan penuh tuntutan visual, banyak perempuan muda merasa perlu tampil “modis” agar dianggap relevan. Sayangnya, konsep “modis” ini seringkali berbenturan dengan prinsip dasar berpakaian dalam Islam yang mengedepankan kesopanan dan kesederhanaan.
Menurut Yūsuf al-Qaraḍāwī (1985) jilbab digunakan sebagai pakaian penutup seluruh tubuh muslimah kecuali muka dan telapak tangan, apapun bentuk dan modelnya. Sementara itu, sebagai wujud nyata pelaksanaannya, lahirlah beberapa qanun pidana yang salah satunya adalah Qanun No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Ibadah, Aqidah dan Syiar Islam yang salah satu ketentuannya adalah kewajiban berbusana Islami bagi penduduk muslim di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Maka jelas bahwa praktik berhijab yang masih memperlihatkan rambut atau leher tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik secara agama maupun hukum lokal.
Meski demikian, penting untuk tidak serta-merta menghakimi pelakunya. Pergeseran ini juga menandakan perlunya pendekatan edukatif yang lebih kuat dari pihak keluarga, institusi pendidikan, serta pemerintah. Edukasi agama perlu disampaikan dengan cara yang kontekstual dan menyentuh pemahaman batin, bukan hanya bersifat normatif dan instruktif.
Sebagai masyarakat Aceh, kita memikul tanggung jawab bersama untuk menjaga nilai-nilai yang menjadi fondasi identitas kita. Hijab seharusnya tidak menjadi arena pertarungan antara budaya dan gaya, melainkan menjadi simbol keharmonisan antara keduanya.