Aceh, kopelmanews.com – Pada hari Selasa, 2 Juli 2013, sekitar siang menuju sore, suasana di Kampung Pantan Jerik, Kecamatan Kute Panang, Aceh Tengah, tampak seperti biasa. Saat itu, ayah korban baru saja berangkat ke kebun setelah makan siang, sementara ibu korban pergi ke menasah untuk mengikuti pengajian mingguan, membawa serta adik korban yang masih kecil. Korban yang saat itu berusia sekitar 7 tahun sedang menonton televisi di rumah bersama temannya. Tak lama kemudian, sepupu laki-laki korban datang berlari ke rumah sambil berteriak, “Woi woi! Yok ke rumahku! Ayahku bawa anak anjing dua!” Karena penasaran, korban mematikan televisi dan langsung pergi ke rumah sepupunya yang hanya berjarak satu rumah dari tempat tinggalnya.
Belum lama mereka tiba di sana, tiba-tiba gempa terjadi. Guncangannya sangat kuat, bahkan untuk berdiri pun terasa sulit. Getaran berlangsung selama sekitar 1 hingga 2 menit. Dalam situasi panik tersebut, ayah sepupu korban menyuruh mereka duduk di tengah jalan dan segera memeluk mereka untuk melindungi. Di tengah kepanikan, korban melihat ayahnya pulang terburu-buru dari arah kebun. Bukannya mencari tempat berlindung, ayah korban justru masuk ke dalam rumah. Belakangan diketahui, ayah korban mengira korban masih berada di rumah seperti sebelum ia berangkat ke kebun.
Tak lama kemudian, gempa mereda. Korban dan teman-temannya duduk diam dengan tubuh lemas, menyaksikan rumah-rumah di sekitar mereka yang sudah tak berbentuk lagi. Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam rumah sepupunya ternyata itu adalah suara kakak sepupunya yang terjebak di dalam rumah selama gempa karena tidak sempat keluar. Ayah sepupunya segera menyelamatkan dan membawanya keluar. Kakak sepupu tersebut mengalami luka di bagian kaki. Peristiwa itu membuat korban terguncang. Korban syok, namun tidak bisa menangis. Pikirannya dipenuhi kecemasan tentang ayahnya yang sempat masuk ke rumah, serta ibu dan adiknya yang masih berada di menasah. Beberapa menit kemudian, ayah korban muncul dalam keadaan selamat sambil menggendong korban. Saat itulah, korban baru bisa menangis sejadi-jadinya.
Menjelang waktu maghrib, tenda darurat mulai didirikan di halaman rumah tetangga. Tak lama kemudian, ibu dan adik korban tiba dan bergabung bersama mereka. Meskipun sedikit merasa lega, korban tetap diliputi rasa cemas dan ketakutan. Di sekitarnya, orang-orang berlalu lalang membawa korban luka ke pos kesehatan darurat. Berita tentang banyaknya warga yang meninggal dunia juga mulai terdengar. Suara tangisan terdengar dari berbagai penjuru, menambah suasana mencekam. Sekitar pukul 8 atau 9 malam, muncul isu bahwa Gunung Berapi Bur ni Telong akan meletus. Suasana kembali panik. Semua orang bersiap untuk mengungsi ke kota yang jauh dari gunung. Saat ayah korban sedang menyalakan sepeda motor, gempa susulan terjadi—kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Jalan-jalan mulai terbelah, dan rumah-rumah yang sempat berdiri kini benar-benar hancur.
Korban mencari orang tua dan adiknya. Ibu korban saat itu sedang memeluk adik yang masih berusia sekitar 3 tahun. Ayah korban mencoba meraih mereka, namun beberapa kali terpental akibat guncangan dan mengalami luka. Korban yang berusaha mendekati ayahnya sempat terjatuh, menghantam aspal hingga menyebabkan dua giginya copot serta bibirnya sobek dan berdarah. Setelah guncangan reda, mereka segera bergegas meninggalkan lokasi.
Di perjalanan, korban melihat banyak orang yang mengalami luka parah. Mobil-mobil tentara mulai berdatangan untuk mengevakuasi para korban. Namun akses menuju kota terputus: satu jalan tertutup longsor, sementara jalan lainnya terhalang oleh jembatan yang runtuh. Akhirnya, warga dari beberapa desa, termasuk korban dan keluarganya, mengungsi ke Ratawali. Di sana, mereka tidur berhimpitan bersama pengungsi lainnya. Tidak ada makanan, dan bahkan air minum pun sangat terbatas satu gelas harus dibagi untuk beberapa orang, hanya cukup untuk membasahi bibir.
Beberapa hari kemudian, setelah akses jalan mulai terbuka, korban, ibu, dan adiknya dijemput oleh paman mereka dari Nagan Raya untuk tinggal sementara di sana. Ayah dan paman korban tetap tinggal di kampung untuk mengurus berbagai keperluan pasca-bencana. korban sering mengalami mimpi buruk mengenai kejadian yang serupa. Rasa takut berlebihan dan gelisah juga sering muncul, terutama di malam hari atau saat sendirian. Saat ini, perasaan tersebut sudah mulai memudar dan hampir hilang. Namun, beberapa respons trauma masih muncul sesekali. Ketika terjadi gempa kecil, korban masih merasa sangat takut dan mudah panik. Selain itu, suara hujan deras atau angin kencang juga memicu kecemasan karena mengingatkan pada suara-suara saat gempa. Korban sering kali teringat kembali pada kejadian tersebut ketika melihat daerah bekas bencana. Kenangan itu terasa hidup kembali dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Berdasarkan dari pengalaman korban, gempa besar yang mengguncang Kampung Pantan Jerik, Aceh Tengah, pada 2 Juli 2013 bukan hanya meruntuhkan rumah-rumah, tapi juga menyisakan luka dalam yang tak terlihat. Bagi korban yang saat itu masih anak-anak, semua terjadi begitu cepat—tiba-tiba tanah berguncang hebat, orang-orang berteriak panik, dan rumah-rumah runtuh dalam hitungan detik. Di tengah kepanikan itu, ia melihat sendiri ayahnya nekat masuk ke rumah yang hampir ambruk karena mengira ia masih di dalam. Meski selamat, pengalaman itu membekas kuat. Trauma muncul dalam bentuk mimpi buruk, rasa takut yang berlebihan saat ada suara keras, atau gelisah saat malam tiba. Bahkan sekarang pun, saat ada gempa kecil, rasa takut itu masih muncul, seolah-olah waktu mundur kembali ke hari itu.
Ini jadi pengingat bahwa bencana alam tak hanya menghancurkan bangunan, tapi juga meninggalkan luka psikologis yang lama sembuhnya. Sayangnya, luka-luka semacam ini sering tak terlihat dan tak banyak diperhatikan. Padahal, khususnya bagi anak-anak, dampaknya bisa sangat panjang. Pemulihan pasca-bencana seharusnya tidak hanya fokus pada bantuan logistik dan perbaikan rumah, tapi juga pada pemulihan mental. Karena trauma, walau tak kasat mata, bisa terus tumbuh diam-diam dalam ingatan seseorang.