Aceh, kopelmanews.com – Di tengah gempuran tugas kuliah, notifikasi WhatsApp group, dan tekanan sosial media, banyak mahasiswa saat ini diam-diam berperang dalam sunyi. Lawannya? Stres akademik.
Fenomena ini makin terasa di era digital. Informasi memang mudah diakses, kelas bisa diikuti dari mana saja, dan tugas bisa dikumpulkan lewat klik tombol. Tapi di balik kemudahan itu, tersimpan tekanan yang tak kalah berat: tugas yang numpuk, tenggat waktu bertabrakan, rasa cemas saat melihat teman “lebih sukses” di Instagram, hingga kelelahan karena terlalu lama menatap layar.
Apa itu stres akademik?
Menurut Barseli dkk. (2017), stres akademik adalah tekanan akibat persepsi negatif seseorang terhadap situasi akademiknya. Bukan hanya pusing mikirin skripsi atau UAS, tapi juga bisa berdampak ke tubuh sakit kepala, gangguan tidur, bahkan emosional seperti mudah marah atau cemas berlebihan.
Sementara Sun et al. (2011) menyebutkan bahwa stres ini terutama datang dari aktivitas belajar itu sendiri, bukan dari kejadian hidup lainnya. Artinya, bagi sebagian mahasiswa, justru kuliah bisa jadi salah satu sumber stres terbesar dalam hidup mereka.
Media sosial, gadget, dan tugas—tiga serangkai penyebab stres
Sadar atau tidak, mahasiswa saat ini menghadapi beban mental yang unik. Dulu, mahasiswa hanya bersaing di kelas. Sekarang, mereka bersaing juga di dunia maya.
Instagram dan LinkedIn bisa jadi pemicu “kompetisi diam-diam.” Melihat teman yang internship di luar negeri atau jadi pembicara di konferensi internasional bisa menimbulkan rasa tertinggal—padahal belum tentu semua itu sebanding dengan kenyataan. Inilah yang disebut sebagai social comparison trap—perangkap membandingkan diri dengan orang lain yang bisa menguras mental.
Belum lagi dengan penggunaan teknologi yang berlebihan. Main game atau scroll TikTok berjam-jam mungkin terasa menyenangkan, tapi jika tidak dikendalikan bisa membuat mahasiswa kehilangan fokus, menunda pekerjaan, bahkan berdampak ke nilai akademik.
Psikologi positif: bukan sekadar berpikir positif
Lalu, bagaimana menghadapinya? Salah satu pendekatan yang bisa membantu adalah psikologi positif.
Menurut Hermanto (2016), emosi positif seperti rasa syukur dan kebahagiaan bisa membantu seseorang merasa lebih kuat secara mental. Mahasiswa bisa mencoba gratitude journaling, yaitu menulis tiga hal yang disyukuri setiap hari. Meski sederhana, kebiasaan ini terbukti bisa menurunkan stres dan meningkatkan kebahagiaan.
Selain itu, konsep resiliensi atau daya lenting sangat penting. Saat dihadapkan pada tekanan akademik, mahasiswa sebaiknya tidak hanya berusaha bertahan, tapi juga tumbuh. Inilah yang disebut dengan post-traumatic growth—kemampuan untuk berkembang setelah menghadapi masa sulit.
Dengan memahami bahwa stres bukan akhir dari segalanya, mahasiswa bisa belajar melihat tantangan sebagai bagian dari proses tumbuh, bukan ancaman yang harus dihindari.
Kesimpulan: tekanan ada, tapi pilihan untuk bertumbuh juga ada
Stres akademik di era digital adalah hal nyata yang dialami banyak mahasiswa. Tapi jangan buru-buru menyerah. Dengan pendekatan psikologi positif, mahasiswa bisa belajar mengelola tekanan, membangun resiliensi, dan bahkan menemukan makna dari setiap kesulitan.
Teknologi memang tak bisa dihindari. Tapi bagaimana kita meresponsnya—itulah yang menentukan. Karena pada akhirnya, bukan dunia digital yang membentuk kita, tapi bagaimana kita memilih untuk bertumbuh di dalamnya.