Close Menu
    What's Hot

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025

    Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Gelar Talkshow Internasional Series 2, “Phobia Pernikahan dari Tiga Belahan Dunia”

    06/01/2025

    Komunitas SAN Gelar Rapat Kerja dan Sosialisasi Pasar Modal Indonesia Bersama Korea Investment & Sekuritas Indonesia

    05/04/2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Senin, Juni 16
    Facebook X (Twitter) Instagram
    kopelmanews.comkopelmanews.com
    Demo
    • Home
    • Nasional
    • Internasional
    • Politik
    • Pendidikan
    • Ekonomi
    • Olahraga
    • Kesehatan
    • Hiburan
    • Teknologi
    • Otomotif
    • Redaksi
    kopelmanews.comkopelmanews.com
    Home » Santi Tanjung: Sunyi yang Mendekatkan
    Opini

    Santi Tanjung: Sunyi yang Mendekatkan

    admin@kopelmanews.comBy admin@kopelmanews.com05/20/2025Updated:05/20/2025Tidak ada komentar20 Views
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn WhatsApp Reddit Tumblr Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Aceh, kopelmanews.com – Dalam riuhnya dunia, banyak manusia yang merasa kehilangan dirinya sendiri. Suara-suara dari luar, tuntutan pekerjaan, hiruk-pikuk media sosial, hingga ekspektasi sosial, seringkali menenggelamkan suara hati yang paling jujur. Di tengah kebisingan itu, kesunyian menjadi barang langka, bahkan menakutkan. Namun, justru dalam sunyi itulah kita bisa menemukan kembali arah dan makna.

    Kesendirian bukanlah kutukan. Ia adalah ruang yang disediakan semesta agar manusia dapat bercakap dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhannya. Dalam keheningan yang dalam, kesadaran menjadi lebih tajam. Pikiran yang biasanya berlari, kini perlahan-lahan melambat dan mulai mendengar bisikan jiwa.

    Banyak orang mengira bahwa sunyi adalah kesepian. Padahal, keduanya berbeda. Kesepian adalah ketika kita merasa kosong meski dikelilingi banyak orang. Sementara sunyi adalah ruang penuh kehadiran, ketika kita merasa utuh meski tanpa suara. Di sana, kita belajar mengenal diri dengan cara yang paling jujur dan tanpa topeng.

    Sunyi adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita sebenarnya. Ketika dunia berhenti sejenak, barulah kita bisa mengamati luka-luka yang belum sembuh, harapan yang belum tersampaikan, dan doa-doa yang terlupakan. Semua muncul ke permukaan, mengajak untuk dipahami, bukan dihindari.

    Terkadang, justru ketika kita merasa sendirian, kita menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri. Ada kekuatan yang senantiasa menyertai, menuntun, dan menjaga—meski tak selalu kasat mata. Sunyi membuka mata batin kita untuk melihat kehadiran-Nya dalam bentuk yang tak terduga.

    Sunyi juga mengajarkan kita untuk menerima. Tidak semua hal harus dikejar dengan tergesa. Tidak semua pertanyaan harus langsung dijawab. Dalam diam, kita belajar bersabar, meresapi, dan menerima kehidupan dengan segala ketidaksempurnaannya.

    Hidup yang terburu-buru sering mengikis rasa syukur. Namun dalam sunyi, rasa syukur bisa tumbuh kembali. Kita mulai menyadari hal-hal kecil yang sering terlupakan: napas yang tenang, cahaya pagi, suara burung, detak jantung. Semua menjadi pengingat bahwa hidup itu sendiri adalah anugerah.

    Namun, belajar bersahabat dengan sunyi bukan hal yang mudah. Dibutuhkan keberanian untuk menyingkap lapisan-lapisan dalam diri yang selama ini tertutupi oleh rutinitas dan distraksi. Di sanalah banyak orang menyerah—bukan karena tak mampu, tetapi karena takut menghadapi dirinya sendiri. Padahal, menghadapi diri adalah langkah pertama menuju kebebasan batin.

    Sunyi juga mendidik kita untuk mendengar dengan lebih dalam. Bukan hanya mendengar suara orang lain, tapi juga mendengar suara alam, suara hati, dan terutama suara Tuhan. Dalam hening, doa tidak lagi sekadar permintaan, melainkan menjadi perjumpaan. Kita tidak sekadar bicara kepada Tuhan, tetapi belajar mendengarkan-Nya.

    Dalam kehidupan modern yang serba cepat, kita seringkali kehilangan makna dari keberadaan itu sendiri. Kita sibuk melakukan banyak hal, namun lupa untuk menjadi. Sunyi membantu kita kembali pada “menjadi manusia” sebelum “melakukan segalanya”. Ia mengingatkan kita bahwa nilai hidup tidak diukur dari produktivitas semata, melainkan dari kehadiran kita secara utuh dan sadar.

    Di balik senyap, jiwa menari dalam cahaya yang tak terlihat mata. Ada bisikan halus dari langit yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang telah luluh dari dunia. Di sana, kata tak lagi penting, karena setiap detik adalah zikir, setiap hembusan angin adalah ayat, dan setiap detak jantung adalah puisi cinta antara hamba dan Tuhannya.

    Sunyi adalah pangkuan semesta, tempat jiwa bersandar saat dunia terasa asing. Ia bukan kekosongan, tapi ruang suci tempat hati disucikan dari debu-debu ambisi. Dalam keheningan itu, kita bukan hanya mendengar—kita merasa, menyatu, dan larut dalam keberadaan yang tak terucap. Dan di ujungnya, kita temukan: ternyata, kedamaian tidak pernah pergi, ia hanya menunggu kita pulang dalam diam.

    Akhirnya, sunyi bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju keutuhan. Dari sunyi, kita kembali ke dunia dengan mata yang lebih jernih, hati yang lebih lembut, dan jiwa yang lebih teguh. Kita menjadi manusia yang tidak hanya hidup, tetapi sadar akan kehidupan itu sendiri—dan dalam kesadaran itulah, kita benar-benar dekat, dengan Tuhan dan dengan diri sendiri.

    Akhirnya, sunyi bukanlah tempat yang menakutkan, tapi rumah bagi jiwa yang rindu pulang. Ia adalah jembatan antara dunia luar dan dunia dalam, antara suara manusia dan suara Tuhan. Siapa pun yang berani masuk ke dalam sunyi, akan keluar dengan hati yang lebih damai.

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email
    admin@kopelmanews.com
    • Website

    Related Posts

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Kesadaran Kesehatan Meningkat, Tapi Apakah Gaya Hidup Kita Sudah Mengikutinya?

    06/15/2025

    Self-Harm: Saat Remaja Berteriak dalam Diam

    06/14/2025
    Leave A Reply Cancel Reply

    Top Posts

    Ketenangan Jiwa dalam Zikir dan Doa

    05/09/20252,665

    Kenapa Gen Z Gampang Overthinking?

    06/12/20251,156

    Bumi Tak Butuh Kita Tapi Kita Butuh Bumi

    06/12/20251,032

    Menjaga Ruh Al-Mudarris (Jiwa Guru) Tetap Menyala di Era Artificial Intellegence

    11/26/2024532
    Don't Miss
    Top News

    Syakir Daulay: Generasi Muda Tabagsel di Perantauan Perlu Belajar Huruf Tulak Tulak

    By admin@kopelmanews.com06/16/20256

    Huruf tulak tulak atau yang sering kita dengar aksara Mandailing ini kan warisan leluhur kita dari Mandailing yang sudah ada sejak lama yang merupakan metamorfosa huruf Pallawa

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025

    Kesadaran Kesehatan Meningkat, Tapi Apakah Gaya Hidup Kita Sudah Mengikutinya?

    06/15/2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    • LinkedIn
    • TikTok
    • Threads

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    About Us
    About Us

    KOPELMANEWS
    Jl. Teuku Nek, Lamtheun, Kec. Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh

    We're accepting new partnerships right now.

    Email Us: admin@kopelmanews.com
    Contact: +62 851 1720 2024

    Facebook X (Twitter) YouTube WhatsApp
    Our Picks

    Syakir Daulay: Generasi Muda Tabagsel di Perantauan Perlu Belajar Huruf Tulak Tulak

    06/16/2025

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025
    Most Popular

    Ketenangan Jiwa dalam Zikir dan Doa

    05/09/20252,665

    Kenapa Gen Z Gampang Overthinking?

    06/12/20251,156

    Bumi Tak Butuh Kita Tapi Kita Butuh Bumi

    06/12/20251,032
    Stats
    © 2025 KN Team
    • Home
    • Buy Now

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.