Aceh, kopelmanews.com – Roleplay atau sering disebut dengan RP merupakan aktivitas memainkan peran secara sadar sebagai tokoh lain, terutama dalam komunitas K-Pop. Para pelaku RP, atau disebut roleplayer, membentuk identitas virtual di berbagai platform seperti Instagram, Twitter, WhatsApp, hingga Telegram.
Selain itu, Roleplayer harus bisa berperan secara virtual tanpa mengungkapkan identitas pemain aslinya. Identitas ini dibentuk tanpa mengungkapkan jati diri asli, dan bisa berupa penggunaan foto idola, gaya bahasa tertentu, atau karakter fiksi yang diciptakan sendiri. Fenomena ini tidak hanya menjadi bentuk hiburan atau ekspresi kreatif semata, tetapi juga menjadi pelarian emosional bagi sebagian individu. Banyak pelaku RP menggunakan media sosial sebagai ruang aman untuk mengekspresikan diri, membentuk hubungan, atau sekadar mengalihkan perhatian dari kejenuhan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, bagi sebagian orang, dunia RP tidak lepas dari pandangan negatif. Aktivitas ini kerap dicap sebagai bentuk pelarian dari real life, identik dengan overthinking, drama antar pengguna, hingga dianggap menyebabkan ketergantungan sosial yang tidak sehat. Tak sedikit pula yang memandang RP sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan atau tidak produktif. Meski tak jarang dianggap sebagai ruang pelarian semu, dunia roleplayer (RP) menyimpan dinamika psikologis yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Di balik layar karakter dan nama samaran, banyak individu menemukan ruang aman untuk mengekspresikan diri, menjalin relasi, dan mengisi kekosongan emosional yang tak tertampung di dunia nyata. Oleh karena itu, alih-alih memandangnya secara hitam-putih, penting untuk melihat RP sebagai fenomena yang lebih kompleks, sebuah bentuk adaptasi, dan bagi sebagian orang, mungkin juga bentuk penyembuhan.v
Untuk mendukung tulisan ini, penulis melakukan wawancara singkat dengan beberapa pengguna RP. Wawancara ini dilakukan secara informal melalui pesan pribadi, dengan pertanyaan terbuka seputar motivasi bermain RP dan pengalaman emosional mereka selama di dunia virtual. asil dari interaksi kecil ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden awalnya masuk RP karena diajak teman atau sekadar gabut. Namun, seiring waktu, banyak dari mereka merasa RP menjadi ruang untuk mencari teman, tempat hiburan, bahkan pelarian dari real life yang kadang terasa berat. Beberapa bahkan menyebutkan bahwa mereka bisa merasakan dukungan emosional dan keterikatan yang sulit didapat di luar sana.
Secara psikologis, hal ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia akan rasa memiliki dan koneksi sosial, yang dalam teori Maslow termasuk ke dalam hierarki kebutuhan manusia. Ketika individu merasa kesepian, terisolasi, atau tidak mendapat dukungan emosional yang cukup dari lingkungannya, mereka cenderung mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut, termasuk melalui ruang virtual seperti RP. Maka tak heran jika dunia RP bagi sebagian orang bukan sekadar tempat bermain peran, tapi juga tempat bernaung.
“Sebenernya gak nyari apa-apa sih awalnya, emang gabut aja, tapi ngelihat ada anak RP yang bener-bener peduli itu ngebuat gue stay,” begitu kata salah satu responden yang menggambarkan betapa hangatnya pengalaman yang ia rasakan dalam dunia ini.
Selain menjadi tempat hiburan, RP juga dirasakan oleh sebagian pengguna sebagai ruang yang lebih suportif secara emosional dibandingkan real life. Berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan, beberapa responden mengaku lebih nyaman bercerita ke teman-teman di RP saat sedang menghadapi masalah, karena merasa lebih didengar dan dimengerti. Seperti yang disampaikan salah satu responden, “kalau lagi ada masalah terus gamau cerita sama temen RL, aku bakalan cerita ke temen RP karena aku lebih nyaman aja sih.”
Menariknya, ada pula yang secara langsung mengatakan, “gue lebih ngerasa didenger dan dingertiin di RP dibanding RL, soalnya kalo di RL gue kaya ngerasa jarang buat dingertiin atau didenger,” Hal ini menunjukkan bahwa keterhubungan emosional di RP bisa terasa lebih intens bagi sebagian orang. Walaupun tidak semua menjadikan RP sebagai ruang pelarian, beberapa tetap menjadikan RP sebagai tempat aman untuk sejenak melepaskan beban pikiran dan mendapat kembali rasa ‘hidup’ yang mungkin sempat hilang di dunia nyata.
Dari hasil wawancara terakhir, muncul pandangan yang cukup menarik bagi sebagian pengguna, dunia roleplayer bukan hanya menjadi pelarian dari kenyataan, tapi juga terasa seperti “tempat pulang.” Salah satu responden menyebut RP sebagai “second home banget, dari apa-apa pasti minta tolong ke temen RP”, sementara yang lain mengatakan, “setelah capek di RL, energi gue keisi lagi di RP.” Mereka datang ke RP bukan hanya saat sedang sedih atau lelah, tapi juga ketika merasa senang dan ingin berbagi. Ini menunjukkan bahwa RP bukan sekadar ruang pelampiasan, melainkan tempat yang menyimpan kenyamanan, koneksi emosional, dan dukungan sosial yang nggak selalu bisa ditemukan di real life.
Namun begitu, tidak semua orang merasakan hal yang sama. Ada juga yang menganggap RP hanya sebagai ruang bermain atau hiburan saat bosan, tanpa keterikatan yang terlalu dalam. Salah satu responden mengatakan, “RP tempat main aja, ngisi waktu luang.” Hal ini menunjukkan bahwa makna RP sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan bagaimana seseorang memilih untuk menjalaninya, apakah sebagai tempat bersembunyi, tempat pulang, atau sekadar tempat singgah.
Berdasarkan interaksi kecil yang penulis lakukan dan berbagai pendapat yang disampaikan, penulis melihat bahwa dunia roleplayer tidak selalu layak untuk dicap sebagai sesuatu yang negatif. Memang benar bahwa bagi sebagian orang, RP bisa menjadi bentuk pelarian. Namun, pelarian bukan selalu berarti buruk, kadang, seseorang hanya butuh ruang untuk bernapas, tempat untuk merasa diterima, atau sekadar jeda dari realita yang melelahkan.RP bisa menjadi ruang alternatif untuk membangun koneksi, mengekspresikan diri, dan menemukan kenyamanan emosional yang mungkin sulit ditemukan di dunia nyata. Seperti yang disebutkan oleh beberapa responden, RP bahkan terasa seperti second home, tempat di mana mereka bisa “pulang” ketika hidup nyata terasa terlalu riuh atau sepi.
Namun tentu saja, setiap orang memiliki cara dan batasannya sendiri dalam menjalani peran di dunia ini. Yang terpenting, menurutku, adalah bagaimana kita bisa menjalaninya secara sehat dan sadar—tanpa kehilangan pijakan pada realitas, tapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa RP bisa menjadi ruang yang menyembuhkan bagi sebagian orang.