Oleh: Dr. Abdul Rozak, M.Si.
Praktisi Pendidikan
Pengantar
Perkembangan revolusi industri 4.0 yang terjadi sekarang mengarah pada penggunaan rekayasa intelegensi dan internet of thing sebagai pundi-pundi pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin (B. Prasetyo & Umi, 2018), bayaknya perubahan yang diakibatkan mulai dari segi teknologi informasi, komunikasi maupun usaha-usaha lainnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menuju era revolusi industri 4.0 yang memiliki tantangan besar. Aspek pendidikan sangat berperan dalam mempersiapkan generasi untuk menghadapi tantangan kemajuan era revolusi industri 4.0.
Era revolusi Industri 4.0 membawa tuntutan tersendiri bagi dunia pendidikan. Dalam situasi ini, setiap lembaga pendidikan harus mempersiapkan kemampuan literasinya dengan orientasi baru dalam bidang pendidikan. Kemampuan literasi tersebut berupa literasi data, teknologi dan sumber daya manusia. Literasi data adalah kemampuan untuk menganalisa dan menggunakan informasi dari data yang bermunculan melalui dunia digital. Literasi teknologi merupakan kemampuan dalam memahami sistem teknologi dan mekanika dunia kerja, sedangkan literasi sumber daya manusia merupakan kemampuan berinteraksi dengan baik, tidak kaku dan berkarakter (Hermann et al., 2016).
Era revolusi Industri 4.0 melahirkan masa yang disebut dengan era disrupsi teknologi yang mendorong terjadinya perubahan di segala bidang kehidupan manusia termasuk dalam dunia pendidikan. Di era disrupsi teknologi digital saat ini, seorang GURU sebagai aktor utama dalam dunia pendidikan harus mampu menunjukkan pola pikir tumbuh dan berkembang (growth mindset), lentur dalam menghadapi perubahan yang fenomenal, cepat dan mendadak akibat kemajuan teknologi digital apapun ceritanya dan menunjukkan literasi teknologi digital yang tinggi.
Respon Kemajuan Era Revolusi Industri 4.o dalam Pembelajaran
Keberadaan guru dalam konteks deep learning dan reimagining learning memegang peranan yang sangat sentral dan tidak bisa digantikan oleh teknologi atau metode pembelajaran lainnya. Meskipun teknologi dan alat pembelajaran digital semakin berkembang, peran guru dalam membimbing, mendampingi, dan memfasilitasi proses belajar siswa tak tergantikan dan tetap menjadi elemen penting dan fundamental yang mendasari tercapainya pembelajaran yang bermakna dan mendalam. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi GURU sebagai aktor dan penentu di garis terdepan yang langsung menyentuh arah perjalanan masa depan anak sebagai generasi bangsa harus menunjukkan diri sebagai individu yang mengedepankan growth mindset, kelenturan dan pembelajar sejati.
Di era revolusi industri 4.0 GURU dan SISWA bukan saja bersaing dengan kecerdasan sesama manusia akan tetapi harus bersaing dengan mesin/robot dalam bentuk produk teknologi digital yang disebut dengan artificial intellegence. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus dapat senantiasa menunjang proses belajar mengajarnya dalam mengintegrasikan metode yang lebih inovatif (Halili, 2019). Mempersiapkan tenaga yang kompeten dan kreatif dalam bidangnya merupakan tugas dari pendidikan.
Dalam deep learning, pembelajaran bukan hanya soal menghafal informasi atau memenuhi tuntutan ujian, melainkan tentang bagaimana siswa menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Guru, dalam hal ini, berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menggali dan mengembangkan pemahaman mereka. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga memfasilitasi diskusi, kolaborasi, dan pemecahan masalah yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan reflektif.
Karena itu kemampuan yang harus dimiliki guru sehingga guru dapat lebih mempersiapkan dirinya dalam menjalankan pendidikan di era revolusi 4.0. Seiring dengan kemajuan teknologi, perubahan dan kebutuhan belajar siswa Gen Z dan Gen Alpha bahkan Gen Bheta juga berubah dan berbeda karakteristiknya. Hal itu hanya dapat dipenuhi karakter dan profil GURU yang terlebih dahulu menjadi manusia pembelajar dengan growth mindsetnya.
Deep Learning merupakan salah satu model pendekatan komprehensif yang dapat membangun situasi dan iklim pembelajaran dimana siswa hadir dalam proses pembelajaran didasarkan pada kesadaran diri yang tinggi, penuh fokus dan orientasi, mendapatkan pembelajaran dan materi bermakna, dan ditopang dengan iklim belajar yang menyenangkan, membahagiakan dan penuh kenyamanan. Belajar bukan sebagai arena pemaksaan diri bahkan penyiksaan diri, melainkan arena komitmen diri mendapatkan pencerahan, kecerdasan dan kebermanfaatan yang diperlukan bagi arah perjalanan siswa untuk masa depan.
Deep Learning sebagai pendekatan pembelajaran mengandung tiga elemen pokok yaitu mindful learning,, meaningful learning, dan joyful learning. Melalui deep learning akan terjadi perubahan arah pembelajaran dari surface learning (belajar dan pembelajaran yang asal-asal saja, formalitas, hanya menghabiskan waktu tapi tidak produktif) menuju deep learning (belajar dan pembelajaran yang mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning), lalu menjadi transformative learning (belajar dan pembelajaran yang menantang dengan kebutuhan yang relevan, antisipatif, berorientasi pada perubahan positif dan konstruktif, serta adanya pola learning, unlearning dan relearning) pada diri siswa dan guru.
Deep learning bukan hanya memperbanyak pengetahuan, melainkan mengarahkan bagaimana murid dalam proses belajar dan pembelajaran menjadi kreator pengetahuan dan kontributor untuk memberikan solusi kreatif dan cerdas dari berbagai permasalahan nyata serta mengimajinasikan akan masa depan yang menjadi cita-cita dan harapan mereka kelak.
Ketiga konsep deep learning ini—mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning—bekerja secara sinergis untuk memperkuat proses deep learning. Siswa yang terlibat dalam pembelajaran yang penuh perhatian (mindful) cenderung lebih mampu membuat makna dari informasi yang mereka pelajari, menjadikannya lebih bermakna (meaningful). Pembelajaran yang penuh makna, pada gilirannya, menumbuhkan rasa kepuasan dan kebahagiaan (joyful), yang lebih lanjut meningkatkan keterlibatan dan motivasi mereka. Semua ini mendukung tercapainya pemahaman yang lebih mendalam, di mana siswa tidak hanya mengingat informasi, tetapi juga dapat menghubungkan pengetahuan tersebut dengan konteks yang lebih luas dan menerapkannya secara efektif dalam kehidupan mereka.
Deep learning harus mampu mendorong adanya REIMAGINING LEARNING pada diri peserta didik dalam membangun masa depannya. REIMAGINING LEARNING (membayangkan kembali pembelajaran) merupakan sebuah konsep yang mencakup pemikiran inovatif dan transformasional terkait cara kita memahami, merancang, dan melaksanakan proses pembelajaran di berbagai tingkatan. Konsep ini tidak hanya mengarah pada pembaruan dalam penggunaan teknologi seperti teknologi digital dalam pendidikan, tetapi juga menyentuh pada aspek-aspek filosofis, pedagogis, dan sosial dalam pendidikan itu sendiri. “Reimagine” berarti mengubah atau membayangkan kembali sesuatu dengan cara yang lebih segar dan relevan dengan tuntutan zaman, sedangkan “learning” adalah proses memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman.
Dalam konteks pendidikan, reimagining learning mendorong GURU dan SISWA untuk melihat lebih jauh dari sekadar apa yang ada hari ini dan penerapan metode tradisional dalam pembelajaran seperti ceramah dan ujian standar. Sebaliknya, reimagining learning ini mendorong penciptaan lingkungan pembelajaran baru yang lebih interaktif, kolaboratif, dan relevan dengan perkembangan dunia nyata. Ini berarti reimagining learning mendorong GURU merancang sistem pembelajaran yang tidak hanya mempersiapkan siswa untuk ujian semata, tetapilebih dari juga untuk merancang masa depan kehidupan siswa yang penuh tantangan dan perubahan.
John Dewey, seorang filsuf pendidikan, menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung seumur hidup dan harus memungkinkan individu (seorang pelajar) untuk terus berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka dalam perjalanan hidupnya. John Dewey, percaya bahwa pembelajaran yang efektif terjadi dalam interaksi langsung dengan pengalaman nyata dan tidak hanya terbatas pada instruksi dan aktivitas yang didiktekan oleh guru di kelas. Konsep pembelajaran John Dewey ini juga mendasari gagasan “learning by doing” yang mengedepankan pembelajaran melalui pengalaman praktis.
Sir Ken Robinson, seorang pakar pendidikan dan penulis buku “Creative Schools: The Grassroots Revolution That’s Transforming Education.” berpendapat bahwa sistem pendidikan tradisional sering kali menghambat kreativitas dan keinginan alami siswa untuk belajar. Sir Ken Robinson mendorong penerapan pembelajaran yang lebih berbasis kreativitas dan memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi minat mereka secara bebas dalam konteks yang lebih terbuka dan fleksibel.
Thomas L. Friedman, dalam bukunya “The World Is Flat,” mengemukakan bahwa dunia yang semakin terhubung secara global memerlukan keterampilan baru yang lebih dari sekadar pengetahuan akademis. Thomas L. Friedman menekankan pentingnya pembelajaran yang mendalam yang dapat melahirkan kreativitas dan inovasi serta kemampuan peserta didik untuk bekerja dalam tim lintas budaya.
Linda Darling-Hammond dalam bukunya yang berjudul “Reimagining Education: A New Design for Teaching and Learning” memaparkan tentang bagaimana perubahan dalam desain kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada siswa dalam merancang masa dpannya dapat memperbaiki hasil belajar siswa secara lebih efektif.
Dalam konsep reimagining learning, guru tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang mendorong transformasi dalam pendidikan. Reimagining learning mengajak kita untuk berpikir ulang tentang bagaimana pendidikan seharusnya dilakukan, dengan memperkenalkan metode pembelajaran yang lebih inklusif, kreatif, dan berbasis teknologi. Guru, dalam konteks ini, berperan sebagai katalisator yang mengubah cara pandang siswa terhadap pembelajaran, memperkenalkan mereka pada teknologi baru, dan memotivasi mereka untuk menjadi pembelajar seumur hidup.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, pendekatan deep learning yang melibatkan mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning dapat menciptakan pengalaman pembelajaran yang holistik dan berdampak. Ketiga elemen ini saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain, dalam menciptakan lingkungan belajar di mana siswa dapat belajar dengan penuh perhatian, memahami materi secara mendalam, dan merasakan kegembiraan dalam proses pembelajaran.
Deep learning Ini tidak hanya memfasilitasi pemahaman yang lebih dalam tentang materi, tetapi juga mengembangkan keterampilan penting yang akan berguna bagi siswa sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu, integrasi ketiga konsep ini dalam pendidikan-pembelajaran sangat penting untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal dan membekali siswa dengan keterampilan abad 21 yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata di masa depan. Implementasi deep learning harus mampu melahirkan Reimagining Learning pada guru dan siswa.
Reimagining learning adalah sebuah upaya untuk memikirkan kembali dan mendesain ulang pendidikan agar lebih relevan dengan tuntutan zaman, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti perkembangan teknologi, kebutuhan dunia kerja, dan pergeseran paradigma dalam cara siswa belajar. Konsep ini menuntut adanya pembaruan dalam metode pengajaran, penggunaan teknologi, serta penekanan pada keterampilan abad 21. Pandangan para pakar seperti Sir Ken Robinson, John Dewey, dan Thomas Friedman dan Linda Darling-Hammond memberikan landasan filosofis dan praktis yang mendalam dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan.