Aceh, kopelmanews.com – Generasi Z atau di kenal sebagai “gen z” mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an tumbuh di tengah revolusi digital, diselimuti kemudahan teknologi namun juga dihantui tekanan psikologis yang belum pernah sebesar ini. Di balik unggahan yang tampak bahagia, banyak jiwa muda mereka yang menyimpan keresahan yang tak terucap. Hari ini, kesehatan mental bukan hanya isu personal, melainkan krisis kolektif yang mengemuka di kalangan Gen Z.
Berdasarkan laporan dari UNICEF Indonesia tahun 2021, sekitar 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi ringan hingga berat. Sementara itu, survei global oleh McKinsey Health Institute pada 2023 menyatakan bahwa 27% dari Gen Z di seluruh dunia melaporkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Ini bukan angka kecil. Ini adalah suara-suara yang menjerit dalam diam, sering kali tak tertangkap oleh sistem atau bahkan lingkungan terdekat.
Di era media sosial, standar kebahagiaan dan kesuksesan seolah ditentukan oleh algoritma. Sebuah studi dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19, Gen Z mengalami peningkatan kecemasan hingga 35% yang berkaitan dengan intensitas penggunaan media sosial. Tekanan untuk tampil sempurna, membandingkan diri, dan mencapai validasi dari likes atau komentar menciptakan ruang tumbuh yang rapuh secara emosional.
Sayangnya, stigma seputar kesehatan mental masih menjadi tembok besar, terutama di masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Banyak yang masih menganggap gangguan psikologis sebagai kelemahan atau sesuatu yang memalukan. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa setiap 40 detik, satu orang di dunia meninggal karena bunuh diri, dan banyak dari mereka adalah remaja dan dewasa muda.
Gen Z, generasi yang di sering di nilai problematic, kurang beretika, dan minim literasi. Seolah menjadi segmentasi dan jastifikasi untuk semakin banyak orang yang ramai-ramai menghakimi padahal sebenarnya tidak semua gen z tidak sesuai denga napa yang ada di pikiran atau tidak yang seperti di “ekpetasikan. Memang, faktanya sering sekali kita temui fenomena gen z yang sering mengeluh pada tuntutan kerja/kegiatan mereka di kehidupan mereka sehari-hari padahal mereka sendiri memang butuh di biayai “butuh healing”. Tapi bukan berarti tidak ada satu pun hal yang bis akita contoh dari gen z, atau apakah artinya problematika dari gen z ini malah menjelaskan bahwa “generasi sebelum nya sudah lebih baik dari gen z?”, tidak juga. Setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda, padahal yang semstinya bis akita contoh dan kita pelajari dari gen z, mereka ini mau menunjukkan suara, mau menunjukkan kreatifitas mereka, dan mereka tidak pernah ragu dalam mencoba hal yang baru, hal-hal yang belum tentu berani di lakukan generasi-generasi sebelumnya. Maka penting bagi kita semua untuk tidak men judge orang lain berdasarkan karakteristik generasinya, karena setiap orang tentunya memiliki keunikan, kepribadian nya masing-masing yang membuat setiap manusia itu berbeda walaupun ada di generasi yang sama.
Gen Z sebenarnya bukan generasi lemah, melainkan kelompok yang paling sadar akan pentingnya well-being mental. Mereka berani membuka diskusi, mengadvokasi bantuan profesional, bahkan menciptakan ruang aman melalui platform digital seperti TikTok, Instagram, dan Twitter. Hashtag seperti #MentalHealthAwareness atau #ItsOkayToNotBeOkay telah digunakan jutaan kali sebagai bentuk solidaritas dan edukasi sebaya.
Namun, keberanian ini tak akan cukup tanpa dukungan sistemik. Layanan konseling di sekolah masih minim, bahkan tidak tersedia di sebagian besar sekolah negeri Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan (2023) menunjukkan bahwa rasio psikolog terhadap penduduk Indonesia adalah 1 banding 140.000, jauh dari ideal. Artinya, banyak anak muda yang tidak memiliki akses terhadap bantuan profesional saat mereka benar-benar membutuhkannya.
Kita butuh solusi yang nyata, bukan cuma kampanye sesaat yang viral terus hilang. Sekolah harusnya jadi tempat yang bikin nyaman, bukan cuma ajang ngejar nilai atau ranking. Di rumah, orang tua juga perlu belajar jadi pendengar yang baik, bukan hakim yang langsung menyimpulkan. Media juga harus stop menggambarkan Gen Z sebagai generasi manja, setiap zaman punya beban dan tantangannya sendiri.
Kesehatan mental itu bukan topik tambahan, ini pondasi penting buat masa depan. Kalau hari ini suara-suara Gen Z terus diabaikan, kita sama saja sedang kehilangan generasi yang punya potensi luar biasa. Jadi, yuk ubah narasinya. Bukan lagi “kamu harus kuat,” tapi “kamu nggak sendirian.” Karena kuat itu bukan soal nahan nangis, tapi soal berani bilang, “aku butuh bantuan.”