Close Menu
    What's Hot

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025

    Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Gelar Talkshow Internasional Series 2, “Phobia Pernikahan dari Tiga Belahan Dunia”

    06/01/2025

    Komunitas SAN Gelar Rapat Kerja dan Sosialisasi Pasar Modal Indonesia Bersama Korea Investment & Sekuritas Indonesia

    05/04/2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Senin, Juni 16
    Facebook X (Twitter) Instagram
    kopelmanews.comkopelmanews.com
    Demo
    • Home
    • Nasional
    • Internasional
    • Politik
    • Pendidikan
    • Ekonomi
    • Olahraga
    • Kesehatan
    • Hiburan
    • Teknologi
    • Otomotif
    • Redaksi
    kopelmanews.comkopelmanews.com
    Home » Ketika Ruh Bicara: Psikologi Islam sebagai Jalan Pulang ke Dalam Diri
    Opini

    Ketika Ruh Bicara: Psikologi Islam sebagai Jalan Pulang ke Dalam Diri

    admin@kopelmanews.comBy admin@kopelmanews.com05/07/2025Updated:05/07/2025Tidak ada komentar55 Views
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn WhatsApp Reddit Tumblr Email
    Penulis | Cut Putri Zahrani. Mahasiswi Psikologi UIN Ar-Raniry
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Aceh, kopelmanews.com – Di tengah arus modernitas yang semakin deras, manusia kerap kali terombang-ambing dalam pusaran kehidupan yang penuh tekanan, kegelisahan, dan keterasingan dari dirinya sendiri. Dunia yang berfokus pada materialisme, efisiensi, dan pencapaian eksternal seringkali melupakan dimensi terdalam dari manusia: ruh. Di sinilah Psikologi Islam menawarkan sebuah jalan pulang-kembali ke dalam diri, kembali pada fitrah, dan kembali pada keutuhan spiritual yang telah lama terlupakan.

    Psikologi Islam tidak semata-mata merupakan perpaduan antara ilmu psikologi dan ajaran Islam, melainkan sebuah paradigma yang berakar pada konsep tauhid, mengenali hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan dimensi jasad, akal, nafs, dan ruh. Konsep ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang manusia, tidak hanya sebagai makhluk biologis atau psikis, melainkan juga sebagai makhluk spiritual yang terhubung dengan Sang Pencipta.

    Dalam kerangka Psikologi Islam, ruh menjadi pusat identitas manusia. Ruh bukan sekadar nyawa, melainkan pancaran ilahiyah yang membuat manusia hidup dan sadar. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya” (QS. As-Sajdah: 9). Ayat ini menjadi dasar bahwa manusia memiliki dimensi transenden yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan psikologi Barat yang cenderung reduksionistik dan mekanistik

    Psikologi konvensional, dalam banyak aspeknya, memandang individu dari sisi empiris dan objektif, dengan fokus pada perilaku, pikiran, dan emosi yang dapat diukur. Pendekatan ini tentu memiliki manfaat besar dalam memahami dan mengatasi gangguan psikologis, namun seringkali kehilangan konteks spiritual yang sangat penting bagi banyak individu, terutama dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia. Di sinilah relevansi Psikologi Islam menjadi sangat signifikan

    Ketika seseorang mengalami kegelisahan, Psikologi Islam mengajarkan bahwa itu bukan semata-mata disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia otak atau konflik psikodinamik, melainkan juga bisa menjadi isyarat dari ruh yang merintih karena jauh dari fitrahnya. Kegelisahan bisa menjadi panggilan dari dalam diri untuk kembali kepada Allah, untuk menata ulang kehidupan yang selama ini mungkin terlalu condong pada dunia dan melupakan akhirat.

    Konsep tazkiyatun nafs, yakni pensucian jiwa, menjadi inti dari transformasi psikologis dalam Psikologi Islam. Proses ini mencakup muhasabah (introspeksi), taubat, sabar, syukur, dan dzikir sebagai jalan untuk menyembuhkan luka-luka batin dan membangun keseimbangan jiwa. Proses penyembuhan ini tidak hanya bertumpu pada terapi bicara, tetapi juga pada penyucian hati dan penguatan hubungan dengan Allah. Dalam praktiknya, ini dapat berupa tilawah Al-Qur’an, shalat malam, puasa sunnah, dan refleksi diri yang mendalam.

    Sebagaimana dijelaskan oleh Abdullah (2020), Psikologi Islam menekankan pentingnya ruhani sebagai fondasi kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa praktik keagamaan yang dilakukan secara sadar dan konsisten mampu meningkatkan ketenangan batin, mengurangi kecemasan, dan memperkuat makna hidup. Ini menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dalam terapi bukanlah pelarian dari realitas, melainkan cara untuk menghadapi realitas dengan cara yang lebih utuh dan bermakna.

    Berbagai penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa pendekatan Psikologi Islam efektif dalam membantu individu mengatasi stres dan gangguan jiwa ringan hingga sedang. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Wibowo dan Ramli (2021) menunjukkan bahwa terapi dzikir dan istighfar mampu menurunkan tingkat stres pada mahasiswa yang mengalami tekanan akademik. Hasil serupa juga ditemukan oleh Lestari (2019) dalam penelitiannya terhadap pasien dengan gangguan kecemasan, di mana intervensi spiritual berbasis nilai-nilai Islam terbukti membantu mengelola gejala secara signifikan.

    Selain itu, Psikologi Islam juga menempatkan manusia dalam kerangka tanggung jawab moral dan spiritual. Gangguan mental tidak hanya dipandang sebagai ketidakseimbangan personal, tetapi juga sebagai peluang untuk perbaikan diri, pemaknaan ulang terhadap hidup, dan pendekatan yang lebih dekat kepada Allah. Dalam hal ini, penderitaan bukanlah kutukan, melainkan sarana untuk bertumbuh dan mengenal hakikat diri.

    Dalam konteks ini, psikoterapis Muslim bukan hanya bertindak sebagai konselor atau fasilitator, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual. Mereka membantu klien untuk mendengarkan suara ruh yang selama ini terpendam oleh kebisingan dunia. Dengan demikian, proses terapi menjadi lebih dari sekadar pemulihan-ia menjadi perjalanan pulang, sebuah mi’raj ke dalam diri untuk bertemu dengan Allah dalam keheningan batin.

    Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam pengembangan Psikologi Islam. Salah satunya adalah kurangnya integrasi antara keilmuan psikologi Barat dan khazanah keilmuan Islam. Banyak praktisi psikologi Muslim yang masih terjebak dalam dikotomi antara ilmu dan iman, antara rasionalitas dan spiritualitas. Untuk menjembatani ini, dibutuhkan upaya serius dalam pengembangan kurikulum, penelitian, dan praktik terapi yang berbasis nilai-nilai Islam namun tetap ilmiah dan profesional.

    Sebagai sebuah jalan pulang, Psikologi Islam mengajak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, menundukkan ego, dan mendengarkan bisikan ruh. la bukan sekadar solusi atas masalah mental, tetapi sebuah pendekatan hidup yang menyeluruh dan menyembuhkan. Ketika ruh bicara, ia tidak meminta dunia, tetapi memanggil kita untuk kembali ke cahaya Ilahi, la mengajak kita menata ulang prioritas, memperkuat akhlak, dan membangun jiwa yang tenang-nafs al-muthmainnah-yang kelak akan dipanggil Allah: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai” (QS. Al-Fajr: 27-28).

    Psikologi Islam, dalam pengertian ini, bukanlah sekadar terapi alternatif. la adalah jalan pulang-bukan ke tempat yang jauh, tetapi ke dalam diri kita sendiri, ke pusat ruhani yang menjadi sumber segala ketenangan, makna, dan kebahagiaan hakiki.

    Kesimpulan

    Psikologi Islam hadir bukan sekadar sebagai cabang ilmu alternatif, melainkan sebagai pendekatan holistik yang menyentuh inti terdalam eksistensi manusia. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah akibat dominasi materialisme dan rasionalitas semata, Psikologi Islam menawarkan sebuah jalan pulang—sebuah proses kembali ke dalam diri, menuju fitrah dan kesejatian ruhani. Berbeda dengan pendekatan psikologi Barat yang lebih menekankan aspek empiris, kognitif, dan perilaku manusia, Psikologi Islam melihat manusia secara menyeluruh: sebagai makhluk yang terdiri dari jasad, akal, nafs, dan ruh, serta memiliki hubungan esensial dengan Tuhan.

    Ketika ruh bicara—melalui kegelisahan, keresahan batin, atau ketidaktenangan jiwa—itu bukan tanda kelemahan, melainkan isyarat akan adanya jarak antara manusia dan fitrahnya. Dalam konteks ini, gangguan mental tidak selalu dipandang sebagai bentuk kerusakan, tetapi sebagai panggilan spiritual untuk kembali kepada Allah. Psikologi Islam tidak menghindari dimensi ilmiah, namun memperkaya pendekatan psikologis dengan nilai-nilai ketuhanan, spiritualitas, dan akhlak. Praktik seperti dzikir, muhasabah, tazkiyatun nafs, dan ibadah lainnya bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga terapi ruhani yang menyembuhkan luka jiwa.

    Untuk itu, pengembangan Psikologi Islam sebagai ilmu dan praktik profesional sangatlah penting. Pendidikan, penelitian, dan layanan psikologis perlu mengintegrasikan nilai-nilai Islam secara utuh, tanpa mengesampingkan metode ilmiah. Di tengah kebingungan hidup modern, Psikologi Islam hadir sebagai pelita yang menuntun manusia untuk mendengar kembali suara ruh—menemukan kedamaian bukan di luar, tetapi di dalam diri, dalam keheningan jiwa yang tersambung dengan Sang Khalik. Karena sesungguhnya, kebahagiaan sejati bukanlah pencapaian duniawi, melainkan perjumpaan ruhani dengan Tuhan yang Maha Damai.

    Cut Putri Zahrani Islam Mahasiswi Psikologi Ruh
    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email
    admin@kopelmanews.com
    • Website

    Related Posts

    Syakir Daulay: Generasi Muda Tabagsel di Perantauan Perlu Belajar Huruf Tulak Tulak

    06/16/2025

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Kesadaran Kesehatan Meningkat, Tapi Apakah Gaya Hidup Kita Sudah Mengikutinya?

    06/15/2025
    Leave A Reply Cancel Reply

    Top Posts

    Ketenangan Jiwa dalam Zikir dan Doa

    05/09/20252,665

    Kenapa Gen Z Gampang Overthinking?

    06/12/20251,156

    Bumi Tak Butuh Kita Tapi Kita Butuh Bumi

    06/12/20251,032

    Menjaga Ruh Al-Mudarris (Jiwa Guru) Tetap Menyala di Era Artificial Intellegence

    11/26/2024532
    Don't Miss
    Top News

    Syakir Daulay: Generasi Muda Tabagsel di Perantauan Perlu Belajar Huruf Tulak Tulak

    By admin@kopelmanews.com06/16/20257

    Huruf tulak tulak atau yang sering kita dengar aksara Mandailing ini kan warisan leluhur kita dari Mandailing yang sudah ada sejak lama yang merupakan metamorfosa huruf Pallawa

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025

    Kesadaran Kesehatan Meningkat, Tapi Apakah Gaya Hidup Kita Sudah Mengikutinya?

    06/15/2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    • LinkedIn
    • TikTok
    • Threads

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    About Us
    About Us

    KOPELMANEWS
    Jl. Teuku Nek, Lamtheun, Kec. Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh

    We're accepting new partnerships right now.

    Email Us: admin@kopelmanews.com
    Contact: +62 851 1720 2024

    Facebook X (Twitter) YouTube WhatsApp
    Our Picks

    Syakir Daulay: Generasi Muda Tabagsel di Perantauan Perlu Belajar Huruf Tulak Tulak

    06/16/2025

    Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyamakan Bahasa Arab dengan Arab Melayu

    06/15/2025

    Sikap Mahasiswa Aceh di Libya atas Polemik 4 Pulau Aceh

    06/15/2025
    Most Popular

    Ketenangan Jiwa dalam Zikir dan Doa

    05/09/20252,665

    Kenapa Gen Z Gampang Overthinking?

    06/12/20251,156

    Bumi Tak Butuh Kita Tapi Kita Butuh Bumi

    06/12/20251,032
    Stats
    © 2025 KN Team
    • Home
    • Buy Now

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.