Aceh, kopelmanews.com – Di tengah arus modernitas yang semakin deras, manusia kerap kali terombang-ambing dalam pusaran kehidupan yang penuh tekanan, kegelisahan, dan keterasingan dari dirinya sendiri. Dunia yang berfokus pada materialisme, efisiensi, dan pencapaian eksternal seringkali melupakan dimensi terdalam dari manusia: ruh. Di sinilah Psikologi Islam menawarkan sebuah jalan pulang-kembali ke dalam diri, kembali pada fitrah, dan kembali pada keutuhan spiritual yang telah lama terlupakan.
Psikologi Islam tidak semata-mata merupakan perpaduan antara ilmu psikologi dan ajaran Islam, melainkan sebuah paradigma yang berakar pada konsep tauhid, mengenali hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan dimensi jasad, akal, nafs, dan ruh. Konsep ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang manusia, tidak hanya sebagai makhluk biologis atau psikis, melainkan juga sebagai makhluk spiritual yang terhubung dengan Sang Pencipta.
Dalam kerangka Psikologi Islam, ruh menjadi pusat identitas manusia. Ruh bukan sekadar nyawa, melainkan pancaran ilahiyah yang membuat manusia hidup dan sadar. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya” (QS. As-Sajdah: 9). Ayat ini menjadi dasar bahwa manusia memiliki dimensi transenden yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan psikologi Barat yang cenderung reduksionistik dan mekanistik
Psikologi konvensional, dalam banyak aspeknya, memandang individu dari sisi empiris dan objektif, dengan fokus pada perilaku, pikiran, dan emosi yang dapat diukur. Pendekatan ini tentu memiliki manfaat besar dalam memahami dan mengatasi gangguan psikologis, namun seringkali kehilangan konteks spiritual yang sangat penting bagi banyak individu, terutama dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia. Di sinilah relevansi Psikologi Islam menjadi sangat signifikan
Ketika seseorang mengalami kegelisahan, Psikologi Islam mengajarkan bahwa itu bukan semata-mata disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia otak atau konflik psikodinamik, melainkan juga bisa menjadi isyarat dari ruh yang merintih karena jauh dari fitrahnya. Kegelisahan bisa menjadi panggilan dari dalam diri untuk kembali kepada Allah, untuk menata ulang kehidupan yang selama ini mungkin terlalu condong pada dunia dan melupakan akhirat.
Konsep tazkiyatun nafs, yakni pensucian jiwa, menjadi inti dari transformasi psikologis dalam Psikologi Islam. Proses ini mencakup muhasabah (introspeksi), taubat, sabar, syukur, dan dzikir sebagai jalan untuk menyembuhkan luka-luka batin dan membangun keseimbangan jiwa. Proses penyembuhan ini tidak hanya bertumpu pada terapi bicara, tetapi juga pada penyucian hati dan penguatan hubungan dengan Allah. Dalam praktiknya, ini dapat berupa tilawah Al-Qur’an, shalat malam, puasa sunnah, dan refleksi diri yang mendalam.
Sebagaimana dijelaskan oleh Abdullah (2020), Psikologi Islam menekankan pentingnya ruhani sebagai fondasi kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa praktik keagamaan yang dilakukan secara sadar dan konsisten mampu meningkatkan ketenangan batin, mengurangi kecemasan, dan memperkuat makna hidup. Ini menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dalam terapi bukanlah pelarian dari realitas, melainkan cara untuk menghadapi realitas dengan cara yang lebih utuh dan bermakna.
Berbagai penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa pendekatan Psikologi Islam efektif dalam membantu individu mengatasi stres dan gangguan jiwa ringan hingga sedang. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Wibowo dan Ramli (2021) menunjukkan bahwa terapi dzikir dan istighfar mampu menurunkan tingkat stres pada mahasiswa yang mengalami tekanan akademik. Hasil serupa juga ditemukan oleh Lestari (2019) dalam penelitiannya terhadap pasien dengan gangguan kecemasan, di mana intervensi spiritual berbasis nilai-nilai Islam terbukti membantu mengelola gejala secara signifikan.
Selain itu, Psikologi Islam juga menempatkan manusia dalam kerangka tanggung jawab moral dan spiritual. Gangguan mental tidak hanya dipandang sebagai ketidakseimbangan personal, tetapi juga sebagai peluang untuk perbaikan diri, pemaknaan ulang terhadap hidup, dan pendekatan yang lebih dekat kepada Allah. Dalam hal ini, penderitaan bukanlah kutukan, melainkan sarana untuk bertumbuh dan mengenal hakikat diri.
Dalam konteks ini, psikoterapis Muslim bukan hanya bertindak sebagai konselor atau fasilitator, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual. Mereka membantu klien untuk mendengarkan suara ruh yang selama ini terpendam oleh kebisingan dunia. Dengan demikian, proses terapi menjadi lebih dari sekadar pemulihan-ia menjadi perjalanan pulang, sebuah mi’raj ke dalam diri untuk bertemu dengan Allah dalam keheningan batin.
Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam pengembangan Psikologi Islam. Salah satunya adalah kurangnya integrasi antara keilmuan psikologi Barat dan khazanah keilmuan Islam. Banyak praktisi psikologi Muslim yang masih terjebak dalam dikotomi antara ilmu dan iman, antara rasionalitas dan spiritualitas. Untuk menjembatani ini, dibutuhkan upaya serius dalam pengembangan kurikulum, penelitian, dan praktik terapi yang berbasis nilai-nilai Islam namun tetap ilmiah dan profesional.
Sebagai sebuah jalan pulang, Psikologi Islam mengajak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, menundukkan ego, dan mendengarkan bisikan ruh. la bukan sekadar solusi atas masalah mental, tetapi sebuah pendekatan hidup yang menyeluruh dan menyembuhkan. Ketika ruh bicara, ia tidak meminta dunia, tetapi memanggil kita untuk kembali ke cahaya Ilahi, la mengajak kita menata ulang prioritas, memperkuat akhlak, dan membangun jiwa yang tenang-nafs al-muthmainnah-yang kelak akan dipanggil Allah: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai” (QS. Al-Fajr: 27-28).
Psikologi Islam, dalam pengertian ini, bukanlah sekadar terapi alternatif. la adalah jalan pulang-bukan ke tempat yang jauh, tetapi ke dalam diri kita sendiri, ke pusat ruhani yang menjadi sumber segala ketenangan, makna, dan kebahagiaan hakiki.
Kesimpulan
Psikologi Islam hadir bukan sekadar sebagai cabang ilmu alternatif, melainkan sebagai pendekatan holistik yang menyentuh inti terdalam eksistensi manusia. Dalam dunia yang semakin kehilangan arah akibat dominasi materialisme dan rasionalitas semata, Psikologi Islam menawarkan sebuah jalan pulang—sebuah proses kembali ke dalam diri, menuju fitrah dan kesejatian ruhani. Berbeda dengan pendekatan psikologi Barat yang lebih menekankan aspek empiris, kognitif, dan perilaku manusia, Psikologi Islam melihat manusia secara menyeluruh: sebagai makhluk yang terdiri dari jasad, akal, nafs, dan ruh, serta memiliki hubungan esensial dengan Tuhan.
Ketika ruh bicara—melalui kegelisahan, keresahan batin, atau ketidaktenangan jiwa—itu bukan tanda kelemahan, melainkan isyarat akan adanya jarak antara manusia dan fitrahnya. Dalam konteks ini, gangguan mental tidak selalu dipandang sebagai bentuk kerusakan, tetapi sebagai panggilan spiritual untuk kembali kepada Allah. Psikologi Islam tidak menghindari dimensi ilmiah, namun memperkaya pendekatan psikologis dengan nilai-nilai ketuhanan, spiritualitas, dan akhlak. Praktik seperti dzikir, muhasabah, tazkiyatun nafs, dan ibadah lainnya bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga terapi ruhani yang menyembuhkan luka jiwa.
Untuk itu, pengembangan Psikologi Islam sebagai ilmu dan praktik profesional sangatlah penting. Pendidikan, penelitian, dan layanan psikologis perlu mengintegrasikan nilai-nilai Islam secara utuh, tanpa mengesampingkan metode ilmiah. Di tengah kebingungan hidup modern, Psikologi Islam hadir sebagai pelita yang menuntun manusia untuk mendengar kembali suara ruh—menemukan kedamaian bukan di luar, tetapi di dalam diri, dalam keheningan jiwa yang tersambung dengan Sang Khalik. Karena sesungguhnya, kebahagiaan sejati bukanlah pencapaian duniawi, melainkan perjumpaan ruhani dengan Tuhan yang Maha Damai.