Aceh, kopelmanews.com – Mau tidur tapi malah kepikiran ucapan orang tadi siang. Tugas udah dikumpulin, tapi masih mikir, “Bener nggak ya? Kurang apa ya?” Bahkan cuma karena chat dibalasnya lama, langsung mikir yang aneh-aneh. Kalau kamu pernah ngalamin hal-hal kayak gini, tenang aja kamu nggak sendirian.
Bagi banyak orang Gen Z, overthinking bukan cuma sesekali terjadi, tapi udah kayak kebiasaan harian. Rasanya kayak otak nggak bisa dimatiin. Selalu ada hal yang dipikirin, diragukan, atau dianalisis terlalu jauh.
Tapi, kenapa sih Gen Z kelihatannya gampang banget overthinking?
Jawabannya nggak sesederhana “kamu terlalu sensitif” atau “kurang bersyukur” karena ini bukan soal lemah mental, tapi soal bagaimana kita tumbuh di tengah dunia yang terus berubah cepat. Gen Z besar dalam era digital, di mana semua orang bisa dilihat, dinilai, dibandingkan. Media sosial jadi panggung 24 jam, dan tekanan untuk terlihat sempurna bisa datang tanpa henti.
Belum lagi soal masa depan yang nggak pasti, beban akademis dan pekerjaan yang berat, serta tuntutan untuk selalu jadi “versi terbaik dari diri sendiri.” Semua ini bikin kepala penuh, walau mulut masih bisa senyum.
Overthinking bukan salahmu, dan kamu nggak sendiri. Tapi kita juga perlu belajar memahami diri sendiri, kasih jeda, dan sadar kalau nggak semua hal perlu dipikirin sampai tuntas. Kadang cukup dijalani, bukan dihakimi.
Media Sosial dan Ekspektasi
Hidup Gen Z tidak bisa lepas dari media sosial. Scroll Instagram, lihat pencapaian orang lain. Buka TikTok, isinya nasihat hidup, standar kesuksesan, dan pasangan ideal. Semua ini bikin kepala penuh — dan membandingkan diri jadi kebiasaan tak sadar.
Tanpa disadari, Gen Z hidup dalam tekanan “harus jadi versi terbaik”, tapi di saat yang sama merasa lelah karena harus selalu terlihat bahagia.
Tumbuh di Tengah Ketidakpastian
Gen Z tumbuh di era yang serba tidak pasti. Pandemi, krisis ekonomi, isu lingkungan, semua muncul bertubi-tubi. Mereka belajar untuk adaptif, tapi juga jadi cemas soal masa depan. Lulus kuliah nanti kerja di mana? Gaji cukup nggak? Bisa bahagiain orang tua?
Pertanyaan-pertanyaan ini berputar terus, tanpa jawaban pasti. Di situlah overthinking tumbuh subur.
Tidak Semua Punya Tempat Aman untuk Cerita
Sayangnya, tidak semua Gen Z punya tempat aman untuk cerita. Ada yang takut dianggap “lemah”, ada juga yang malah dikatain “baperan”. Akhirnya? Dipendam sendiri. Dipikirin sendiri. Dan terus-terusan diputar ulang di kepala.
Padahal, menurut psikolog, overthinking bisa berdampak buruk jika tidak dikendalikan. Mulai dari insomnia, produktivitas menurun, hingga gangguan kecemasan.
Lalu, Solusinya Apa?
Pertama, sadari bahwa overthinking bukan kelemahan. Tapi jangan dibanggakan juga. Itu sinyal bahwa pikiran kamu sedang butuh istirahat.
Kedua, penting banget punya support system — teman, keluarga, atau profesional. Jangan ragu untuk cerita. Kadang, yang kita butuh cuma didengar, bukan dihakimi.
Ketiga, belajar teknik grounding atau mindfulness. Nggak harus ribet. Cukup tarik napas dalam, tulis jurnal, atau kurangi screen time pelan-pelan.
Penutup
Overthinking mungkin sudah jadi bagian dari hidup Gen Z, tapi bukan berarti nggak bisa dikelola. Kita bisa mulai dari langkah kecil: kenali, terima, lalu pelan-pelan kendalikan. Karena pikiran yang sehat, itu juga bagian dari self-love.