Aceh, kopelmamews.com – Belakangan ini, kasus hubungan sedarah atau inses kembali mencuat di media dan memicu keprihatinan publik. Hubungan inses bukan hanya menyentuh batas moral dan agama, tetapi juga membawa dampak sosial, psikologis, dan biologis yang serius. Ironisnya, sebagian pelaku justru berasal dari lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
Hubungan inses melibatkan anggota keluarga yang memiliki ikatan darah dekat, seperti ayah dan anak, saudara kandung, atau paman dan keponakan. Dalam konteks hukum di Indonesia, tindakan ini bukan hanya dilarang, tetapi juga dikategorikan sebagai tindak pidana, khususnya jika disertai unsur kekerasan atau pemaksaan.
Secara etis, hubungan ini melanggar norma-norma universal tentang perlindungan terhadap anak dan anggota keluarga yang lebih. Dalam banyak kasus, hubungan sedarah bukanlah relasi yang setara. Pelaku seringkali adalah orang dewasa atau figur otoritas dalam keluarga, karena relasi kuasa yang timpang di mana satu pihak memanfaatkan kedekatan dan ketergantungan emosional untuk mengeksploitasi pihak lain.
Dari sudut pandang hukum, KUHP Indonesia sudah secara tegas mengkriminalkan tindakan ini, apalagi jika disertai kekerasan atau dilakukan terhadap anak. Namun, hambatan terbesar bukan hanya soal hukum, melainkan budaya diam dan stigma yang membuat korban enggan melapor. Banyak keluarga memilih ‘menyelesaikan secara internal’, tanpa memikirkan kondisi psikologis korban.
Dampak psikologis dari inses sangat menghancurkan. Korban sering mengalami trauma berkepanjangan, rasa bersalah, dan kerusakan kepercayaan terhadap institusi keluarga. Selain itu, dari sisi biologis, hubungan sedarah berpotensi melahirkan keturunan dengan risiko cacat genetik akibat rendahnya keragaman gen.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Masyarakat perlu memiliki literasi yang lebih baik tentang pentingnya edukasi seksual, komunikasi dalam keluarga, serta perlindungan anak. Negara harus hadir melalui penegakan hukum yang tegas, serta layanan pemulihan psikologis yang mudah diakses korban.
Hubungan sedarah bukan sekadar isu pribadi atau tabu budaya ini adalah pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kita tidak boleh tutup mata. Perlindungan terhadap integritas tubuh dan jiwa anak-anak harus menjadi prioritas semua pihak, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga negara.