Aceh, kopelmanews.com – Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Kembali menyelenggarakan International Talkshow bertajuk “Family Matters: A Global Perspective on Marriage Phobia & Cultural Expectations” sebagai bagian dari mata kuliah Psikologi Keluarga. Banda Aceh, 24 Mei 2025.
Acara ini menghadirkan tiga pembicara internasional dari latar budaya yang kontras, diantaranya Mesir mewakili budaya Islam yang kental sebagaimana Aceh juga wilayah syariat Islam, Hawaii (USA) mewakili perspektif global dari Barat, dan Taiwan perwakilan negara di Asia Timur namun memiliki lifestyle yang modern individualist. Ketiga perspektif ini secara gamblang memperlihatkan perbedaan tajam dalam cara memandang keluarga, pernikahan, dan pengasuhan.
Lebih dari 180 peserta berpartisipasi aktif dalam talkshow ini, yang sepenuhnya disampaikan dalam bahasa Inggris dan menjadi ajang pembelajaran nyata mengenai keberagaman nilai budaya, sekaligus media penguatan identitas diri sebagai Mahasiswa Muslim yang berdaya saing global.
Nilai Keluarga dan Pernikahan dalam Islam – Perspektif Mesir
Pembicara asal Mesir, Dina Eid Etia, menyampaikan perspektif yang sangat kental dengan nilai-nilai Islam dan budaya Timur Tengah. Ia menggambarkan bahwa dalam masyarakat Mesir, keluarga adalah satu kesatuan yang sangat penting dan saling terhubung secara emosional, sosial, dan spiritual. Dalam penyelesaian konflik keluarga, budaya Mesir mengedepankan komunikasi dan musyawarah antar keluarga dan Mesjid menjadi tempat yang paling baik dalam proses ini.
Budaya Islam dalam masyarakat Timur Tengah menekankan keluarga adalah sistem utama yang saling menopang, dengan pengasuhan anak melibatkan seluruh anggota keluarga besar. Pendidikan agama diperkenalkan sejak dini, termasuk mengajarkan shalat dan membaca Al-Qur’an. Fobia terhadap pernikahan jarang ditemukan, karena pernikahan dianggap sebagai fase kehidupan yang membawa keberkahan, bukan sebagai ancaman terhadap kemandirian.
Meski ia mengakui bahwa kini mulai muncul pengaruh budaya luar, terutama dari media sosial, yang membawa perubahan dalam cara pandang anak muda terhadap hubungan, keluarga, dan pernikahan, namun secara umum masyarakat Mesir masih sangat menjaga nilai-nilai tradisional mereka.
Kemandirian VS Kekhawatiran akan Ikatan Pernikahan – Perspektif Hawaii/Filipina
Sebaliknya, Catherine yang berasal dari Hawaii dengan latar budaya Filipina, berbagi cerita tentang pergeseran nilai dalam masyarakat Barat, di mana perempuan sering menunda atau menghindari pernikahan demi menjaga kebebasan pribadi. Fobia pernikahan di Barat berkaitan erat dengan ketakutan kehilangan kontrol atas hidup, dan adanya kekhawatiran bahwa pernikahan akan membatasi ruang gerak atau mengurangi nilai diri. Di Amerika, banyak perempuan memilih untuk tidak menikah. Bukan karena mereka tidak percaya cinta, tapi karena mereka begitu terbiasa berdiri sendiri “I can earn my own money. Why do I need a man?” katanya tanpa ragu. Caterine mangaku, pandangan dirinya terhadap kehidupan kini lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan Hawaii-Amerika.
Namun, dalam keluarganya yang masih membawa budaya Philipina, Catherine diajarkan bahwa keluarga adalah garis hidup—“blood is number one”, kata ayahnya. Artinya, apapun yang terjadi, keluarga adalah tempat pertama untuk kembali, dan hubungan darah adalah yang paling suci, apalagi ketika ia masih kecil dan orang tuanya berjuang untuk mencari nafkah, Neneklah yang mengasuhnya ketika masa itu. Bagi Caterine yang kini memilih hidup sendiri berdikari dan jauh dari keluarganya, ia masih menyisakan rasa bahwa keluarga adalah tempat dirinya pulang.
Tantangan Emosional dan Gesekan Antar Generasi – Perspektif Taiwan
Dari Taiwan, Wu Xiyun menyoroti pentingnya peran emosional dalam keluarga. Ia tidak hanya berbicara sebagai akademisi, tapi juga sebagai representasi dari generasi muda yang tengah bergumul dengan dinamika keluarga modern. Bagi Xiyun, keluarga bukan sekadar struktur sosial formal yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak- anak. Ia melihat keluarga sebagai ruang tumbuh tempat seseorang menerima pengasuhan, bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga emosi. “Keluarga adalah tempat pulang,” ucapnya lirih. Tempat seseorang kembali setelah lelah, tempat mengadu ketika dunia luar terasa terlalu ramai dan menyesakkan.
Namun dalam praktiknya, banyak keluarga hanya memenuhi kebutuhan fisik tanpa menyediakan ruang pemulihan emosional yang terkadang membentuk trauma masa kecil yang membuat sebagian anak muda enggan membentuk keluarga. Ia juga menyoroti jika terjadi konflik antara orang tua, kemudian kakek-neneklah yang menjadi penyelamat dalam pengasuhan.
Ketika diskusi mulai menyentuh soal fobia pernikahan, raut wajah Xiyun berubah lebih serius. Ia menyampaikan bahwa banyak anak muda di Taiwan yang kini mulai mempertanyakan relevansi pernikahan. Bukan karena benci institusi itu, tapi karena banyak dari mereka tumbuh dalam keluarga yang pecah, atau melihat hubungan orang tuanya sebagai sesuatu yang penuh konflik dan luka. Di akhir sesinya, ia tidak menyampaikan kesimpulan teoritis. Ia hanya berkata bahwa mungkin keluarga yang sempurna itu tidak ada. Tapi keluarga yang mau saling belajar dan saling tumbuh, itu masih mungkin dan itu cukup.
Pengalaman Internasional, Jiwa Qur’ani
Salah satu hasil pembelajaran penting dari talkshow ini adalah bagaimana ketiga pembicara dari budaya yang sangat berbeda menyampaikan satu benang merah, jika terjadi masalah dalam keluarga—seperti broken home, perceraian, atau tekanan ekonomi—sosok “hero” yang mengambil alih pengasuhan anak justru adalah sang kakek-nenek. Fenomena ini tampak konsisten di berbagai budaya, baik di negara Islam, negara Barat, maupun negara Asia Timur. Hal ini menunjukkan bahwa generasi tua lebih memprioritaskan pola tanggung jawab dan berkeluarga yang natural, sesuai kodratnya manusia.
Hal ini menarik karena menunjukkan pergeseran peran pengasuhan dari orang tua kandung ke generasi sebelumnya, bahkan di Barat, seorang ibu dapat memiliki anak tanpa menikah, atau memiliki anak dari ayah yang berbeda-beda, dan masih dianggap wajar. Kondisi ini menjadi cerminan pergeseran nilai dan tantangan dalam membangun keluarga yang stabil yang terkadang masuk dan mengubah pandangan Masyarakat kita, padahal sumber isu-isu permasalahan yang dirujuk secara ekstreem berbeda dari kondisi Masyarakat kita.
Tiga perspektif yang dihadirkan menunjukkan kontras nilai yang sangat mencolok antara budaya yang mengagungkan kebebasan individu, budaya kolektif yang religius, serta masyarakat yang menghadapi krisis emosional dalam institusi keluarga. Perbedaan ini menjadi cermin reflektif bagi mahasiswa Muslim untuk menilai dengan jernih posisi mereka dalam menghadapi fenomena modern seperti fobia pernikahan.
Pengalaman Internasional, Jiwa Qur’ani
Sebagaimana disampaikan oleh July Andriani, M.Si, koordinator mata kuliah, “Jangan sampai kita sebagai Muslim ikut-ikutan takut menikah. Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah yang sangat mulia dan bagian dari penyempurna iman.”
Dalam penutupan, Ida Fitria, S.Psi., M.Sc. sebagai Host dalam sesi Talkshow ini, menegaskan bahwa Islam memandang pernikahan bukan sebagai bentuk pembatasan, tetapi sebagai kerjasama suci antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi ruang perlindungan, ketenangan, dan cinta kasih. Allah menjanjikan bahwa pernikahan yang diridhai-Nya akan menjadi jalan menuju keluarga yang “Sakinah Mawaddah Warrahmah”.
Keyakinan Islam bahwa “wanita yang baik untuk laki-laki yang baik (atau sebaliknya)” adalah bentuk jaminan spiritual, sehingga umat Muslim tidak perlu takut mendapatkan pasangan yang buruk, namun fokuslah memperbaiki diri menjadi lebih baik. Menikah dalam Islam bukan berarti kehilangan kebebasan, melainkan mendapatkan perlindungan serta mitra ibadah terpanjang di dunia—hingga ke surga. Oleh karena itu, umat Muslim diajak untuk tidak terpengaruh oleh ketakutan yang berkembang di masyarakat global, melainkan tetap percaya bahwa nilai-nilai Islam akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga. Namun kepercayaan ini juga perlu dibarengi dengan kesadaran memahami pola berkeluarga yang sehat sehingga baik laki-laki maupun Perempuan memahami porsi perannya masing-masing dalam pernikahan. Misalnya laki-laki belajar menjadi sosok yang bertanggung jawab, melindungi dengan penuh kasih sayang dan perempuan belajar menjadi sosok pendamping yang senantiasa lembut dan mengasuh anak-anak dengan baik.
Apresiasi Kolaborasi dan Komitmen Mahasiswa
Fahmil Arsal selaku Ketua Panitia menyampaikan rasa bangganya terhadap seluruh tim yang telah bekerja keras secara sukarela, dari perencanaan hingga pelaksanaan. Acara ini menjadi momen pembelajaran sekaligus pengingat bahwa internasionalisasi pendidikan tidak harus mengorbankan nilai-nilai Islam. Dengan keberagaman perspektif yang disajikan, talkshow ini memberikan ruang refleksi mendalam bagi mahasiswa untuk memaknai kembali makna keluarga dan pernikahan, serta meneguhkan pilihan hidup mereka dalam koridor ajaran Islam.
Selain itu, acara yang dipandu oleh Suci Gebrina sebagai MC ini menjadi penguat motivasi bagi mahasiswa untuk lebih giat belajar bahasa Inggris, terbukti dari keberhasilan panitia menyelenggarakan seluruh rangkaian acara dalam bahasa Inggris secara lancar dan profesional, menunjukkan kemampuan komunikasi mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry dalam forum internasional.
Melalui talkshow ini, Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry tidak hanya membuktikan komitmennya terhadap internasionalisasi pendidikan, tetapi juga menghadirkan ruang dialog lintas budaya yang berakar pada nilai keislaman, berwawasan global, dan penuh empati melalui Bahasa International. Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal bagi mahasiswa untuk menjadi agen perubahan di tengah tantangan modernitas dan pergeseran nilai-nilai keluarga.
Senada dengan itu, Ida Fitria, S.Psi., M.Sc. menutup acara dengan mengajak peserta untuk kembali berpijak pada Al-Qur’an sebagai sumber nilai, serta lebih kritis terhadap pengaruh budaya luar yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.