Aceh, kopelmanews.com – Zaman sekarang, belanja itu udah bukan cuma soal beli barang yang dibutuhkan. Banyak orang yang belanja bukan karena butuh, tetapi sekarang belanja sudah jadi cara mengekspresikan diri, menunjukkan selera bahwa gaya hidup.
Di era digital seperti sekarang, dimana hampir semua hal bisa di lakukan melalui layar ponsel, belanja secara online juga telah menjadi aktivitas yang begitu mudah dan cepat. Kita sering membenarkan kebiasaan ini dengan istilah yang sedang populer yaitu Self Reward. Self-reward adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri setelah mencapai suatu pencapaian. Dalam konteks ini, belanja bisa memotivasi dan menumbuhkan self-worth. Misalnya setelah selesai mengghadapi minggu yang melelahkan, stres karena tugas atau bahkan ada yang menangis semalaman, banyak dari kita sekarang memilih belanja sebagai bentuk “menghibur diri”. Tidak salah, memang. Memberikan hadiah kepada diri sendiri adalah bentuk Self love yang sah. Tapi, jika terlalu sering dijadikan sebagai pelarian emosional, shopping bisa berubah dari suatu yang menyenangkan menjadi sesuatu yang merugikan.
Belanja jadi pelarian emosional yang tidak disadari
Tanpa disadari, banyak orang yang menjadikan belanja sebagai pengganti dari kebutuhan emosional yang belum terpenuhi. Ketika kita lagi sedih? buka Shoppee. Lagi cemas? cek keranjang. Lagi Lelah? cari diskon. Lama kelamaan kita tidak tahu apa yang sedang kita rasakan, dikarenakan semua ditutupi oleh rasa senang saat membeli barang.
Efek senang memang ada, dopamin yang di lepas oleh otak saat checkout terasa seperti pereda stres instan. Tapi sayangnya, itu tidak bertahan lama, hanya bersifat sementara. Yang datang berikutnya adalah rasa kosong lagi, dan akhirnya siklus itu terulang kembali : stres- belanja- senang- sebentar- kosong- belanja lagi. Maka akan kejadian begitu seterusnya jika dijadikan belanja sebagai pelarian dari emosional.
Pengaruh Media Sosial: FOMO dan Tekanan Gaya Hidup
Salah satu pemicu terbesar pola belanja yang impulsif di era sekarang adalah media sosial. TikTok, Instagram, dan YouTube membanjiri kita dengan konten haul, review produk, atau gaya hidup yang terlihat ‘sempurna’. Tidak jarang, kita membeli bukan karena butuh, tapi karena takut ketinggalan tren. Fear of missing out alias FOMO ini menciptakan tekanan yang membuat kita merasa harus selalu punya yang terbaru agar tetap relevan.
Kita jadi lupa bahwa yang kita lihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang dan biasanya, itu bagian yang paling “mengkilap”. Kita tidak tahu perjuangan finansial orang di balik konten tersebut, atau seberapa tulus mereka menikmati hidupnya. Tapi karena setiap hari kita disuguhkan hal yang sama, standar hidup kita pun ikut bergeser. Rasanya kurang kalau belum ikut beli.
Bangun Hubungan yang Sehat dengan Belanja
Bukan berarti kita harus anti-belanja. Belanja bisa jadi cara yang menyenangkan untuk mengekspresikan diri, meningkatkan mood, atau merayakan pencapaian. Tapi yang penting adalah punya kendali.
Coba mulai dari hal-hal kecil, seperti:
- Bedakan antara kebutuhan dan keinginan :Tanyakan: “Apakah aku benar-benar butuh ini, atau cuma ingin sesaat?”
- Tunda keputusan belanja impulsif: Biarkan barang berada di keranjang selama 2-3 hari. Jika masih terasa penting, baru beli.
- Buat anggaran belanja pribadi: Tetapkan batas bulanan agar kita tidak membeli di luar kemampuan finansial.
- Perkuat makna self-reward: Cari bentuk self-care lain seperti tidur cukup, quality time dengan orang terdekat, atau olahraga ringan.
Bahagia Bukan dari Barang, Tapi dari Rasa Cukup
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari apa yang kita punya, tapi dari kemampuan untuk merasa cukup. Semakin kita mengejar kepuasan dari luar, semakin kita lupa mendengarkan diri sendiri.
Karena sejatinya, kebahagiaan tidak datang dari banyaknya barang, melainkan dari cukupnya rasa syukur dan sadarnya pilihan.
Shopping bukanlah musuh. Tapi jika tidak dikendalikan, ia bisa menjadi jerat halus yang menjauhkan kita dari ketenangan yang sesungguhnya.