Aceh, kopelmanews.com – Pernahkah Anda bingung dengan pernyataan seperti, “sepertinya ini yang sedang aku alami sekarang, atau fix ini aku banget“? Mungkin dari teman, seorang content creator, atau bahkan mungkin diri kita sendiri. Kalimat-kalimat tersebut bisa dibilang kita menganalisis diri sendiri setelah melihat konten di sosial media tiktok atau instagram yang mengangkat tema social anxiety, burnout, ataupun overthinking.
tanpa adanya konsultasi dengan ahli dan diagnosis resmi, kita sering kali langsung melebeli atau mendiagnosis diri kita sendiri berdasarkan konten-konten tersebut. aku cemas, aku stress, aku depresi, aku punya gangguan mental. itulah yang disebut dengan self diagnose atau melebeli diri sendiri berdasarkan informasi yang ditemukan diinternet atau social media.
Apa sih self diagnose?
Menurut White dan Horvitz , self diagnose adalah upaya memutuskan bahwa diri sendiri sedang mengidap suatu penyakit berdasarkan informasi yang diketahui. berbagai alasan individu akhirnya melakukan self diagnose. self diagnose sering kali dilakukan karena perasaan rasa penasaran dengan gejala yang sedang dialami yang kemudian dibandingkan dengan referensi yang dimiliki. selain itu, ada pula yang melakukan self diagnose karena merasa khawatir akan diberi diagnosis penyakit yang buruk setelah berkonsultasi dengan dokter. kurangnya kepercayaan terhadap dokter juga menjadi alasan seseorang melakukan self diagnose.
Menurut psikolog persada, self diagnose pada kesehatan mental dapat membuat individu mengalami kecemasan belebih. individu yang mengalami gangguan kecemasan dapat berperilau tidak lazim seperti pank tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan dan melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan.
Kenapa banyak anak muda yang melakukan self diagnose?
Kita hidup di era serba cepat, serba online, dan serba terbuka. informasi tentang kesehatan mental kini dapat dengan mudah untuk kita temukan. kita tinggal buka aplikasi tiktok dan mencari tentang “anxiety”, dan dalam hitungan detik, akan langsung muncul ratusan video “ini tanda kalau kamu mengalami kecemasan” atau “kamu sering mengalami ini? bisa jadi itu anxiety”
Untuk gen-z yang tumbuh dengan teknologi di tangan, ini terasa menyenangkan sekaligus melegakan. akhirnya ada penjelasan untuk rasa lelah yang terus menerus. akhirnya ada nama untuk perasaan gelisah yang selama ini dirasakan sendirian. self diagnose menjadi bentuk usaha memahami diri sendiri. karena kita merasa tidak ada yang bisa diajk bicara, atau kita tidak tahu harus mulai dari mana.
Dan terkadang, kita Cuma butuh validasi atas apa yang kita rasakan dan pikirkan.
Antara kesdaran dan kecemasan
self-diagnose sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya salah. dalam beberapa kasus, itu bisa jadi awal yang baik untuk mengenali apa yang sedang kita alami. Tapi kalau dilakukan tanpa pemahaman yang benar dan cukup, justru bisa menyesatkan.
Misalnya, merasa gugup sebelum presentasi buka berarti kita punya social anxiety disorder. merasa sedh setelah putus cinta bukan langsung tanda depresi klinis. kita semua manusia dan merasakan emosi itu bagian dari hidup, tapi ketika kita buru-buru melabeli semua itu sebagai gangguan mental, kita bisa terjebak dalam ketakutan yang sebenarnya tidak perlu.
Bahaya Dibalik Label yang Terlalu Cepat
Saat kita terlalu cepat mengklaim punya gangguan mental, ada beberapa risiko yang mungkin terjadi:
1. Melewatkan diagnosis yang sebenarnya
Bisa jadi apa yang kita alami bukan gangguan kecemasan tapi efek dari kelelahan fisik, kurang tidur, atau tekanan sosial. Tapi karena sudah yakin “aku punya anxiety”, kita menolak kemungkinan lain.
2. Menormalkan hal yang serius
Saat terlalu banyak orang menyebut dirinya cemas atau depresi secara sembarangan. makna dari kondisi itu bisa jadi kabur. Padahal, bagi mereka yang benar-benar mengalami gangguan mental, perjuangannya berat dan butuh penanganan serius.
3. Menghindari bantuan profesional
Self diagnose sering membuat kita merasa “aku udah tau masalahnya”, sehingga kita malas mencari bantuan dari psikolog atau konselor. Padahal dukungan profesional bisa membuka pintu pemahaman yang lebih dalam dan tepat.
Jadi, Harus Bagaimana?
Jika kamu merasa cemas secara terus menerus, sulit untuk tidur, kehilangan motivasi atau merasa putus asa, adalah hal yang wajar jika kamu mencari informasi lebih lanjut. itu adalah tanda bahwa kamu peduli pada dirimu sendiri. Namun jangan behenti di Tiktok atau Instagram. manfaatkan infromasi tersebut sebagai sarana. Bukan sebagai tujuan akhir.
Cobalah untuk berbagi perasaanmu dengan sesorang yang kamu percayai. catat dalam jurnal, atau jika mungkin, bicarakan dengan seorang psikolog. Mungkin yang kamu perlukan bukanlah diagnosis, melainkan tempat untuk merasa aman dan dimengerti.