Aceh, kopelmanews.com – Setiap malam, kawasan Alue Naga Banda Aceh, terutama di depan Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG), kerap dipenuhi muda-mudi yang duduk santai. Para pihak terkait sebenarnya sudah menyediakan fasilitas umum yang memadai, mulai dari mobil yang menjual minuman, menyediakan tempat duduk lengkap dengan meja dan penerangan yang cukup baik. Namun, menariknya, sebagian orang justru memilih duduk di area gelap yang nyaris tak terlihat dari pandangan orang yang lewat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa ketika tempat terang dan terbuka sudah tersedia, tetap ada yang memilih lokasi gelap?
Pilihan duduk di tempat gelap ini membuat orang-orang yang lewat mulai memberikan penilaian negatif. Meskipun belum tentu benar, pola yang berulang ini membuat asumsi sulit dihindari. Duduk di ruang publik bukanlah pelanggaran, tetapi memilih tempat yang gelap dan jauh dari pengawasan memunculkan tanda tanya soal motif dan niat. Hal ini bisa menjadi cerminan lemahnya kontrol sosial dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan pendidikan. Ruang publik yang seharusnya jadi tempat bersosialisasi sehat, perlahan berubah menjadi ruang semi-pribadi yang justru menyimpan banyak potensi masalah.
Dalam konteks ini, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) secara tegas melarang segala bentuk perbuatan yang mengarah kepada zina, termasuk khalwat, yaitu berduaan di tempat tersembunyi antara dua orang bukan mahram. Pilihan duduk di area gelap, meskipun di ruang publik, membuka celah terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan syariat dan nilai lokal. Pasal 2 dan 3 dari qanun tersebut menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kehormatan dan pencegahan sedini mungkin dari perilaku menyimpang, yang sejalan dengan urgensi pengawasan dan penerangan di ruang publik seperti Alue Naga.
Menjaga ruang publik adalah tanggung jawab bersama. Bersikap wajar di tempat umum, khususnya pada malam hari, bukan sekadar soal etika, tetapi juga upaya menjaga kenyamanan dan citra lingkungan. Alue Naga, yang strategis dan dekat dengan kampus, punya potensi besar sebagai ruang rekreasi positif. Namun, jika dibiarkan gelap dan memunculkan stigma negatif, potensi itu bisa hilang.
Dengan penerangan yang cukup, pengawasan yang aktif, serta fasilitas yang nyaman dan menarik, Alue Naga dapat menjadi tempat aman dan menyenangkan bagi semua kalangan. Ketika ruang publik dikelola dengan baik, bukan hanya suasana yang jadi lebih aman, tetapi juga tumbuh rasa saling menghormati dan kepercayaan antarwarga.
Karena itu, sinergi antara pemerintah, aparat, kampus, dan masyarakat sangat penting. Penambahan lampu di titik gelap, edukasi etika, serta penyediaan ruang sosialisasi yang sehat harus terus digalakkan agar Alue Naga benar-benar menjadi simbol kota yang aman, maju, dan beradab.