Aceh, kopelmanews.com – Sukses itu harus punya rumah sebelum 30, Kalau belum jadi manajer di usia 28, kamu telat, Lihat si A, sudah bisnis sendiri. Kamu kapan?”
Kalimat-kalimat ini seringkali terdengar enteng, seolah hanya obrolan ringan. Namun bagi sebagian besar generasi muda, terutama kalangan milenial dan Gen Z, kalimat semacam ini bisa menjadi beban psikologis yang tak kasat mata—berubah menjadi suara internal yang menuntut tanpa henti: aku harus cepat, aku harus sukses, aku harus jadi sesuatu sebelum 30 tahun. Fenomena ini bukan isapan jempol. Di balik gaya hidup fleksibel dan budaya “self love” yang ramai di media sosial, ada tekanan besar yang sedang dialami oleh jutaan anak muda hari ini: tekanan eksistensial.
Tekanan Tak Terlihat, Luka yang Tak Diakui
Fika (25), seorang pekerja paruh waktu di sebuah kafe di Banda Aceh, menceritakan bagaimana rasa gelisah sering menghantuinya setiap membuka Instagram. “Teman-temanku kayaknya hidupnya enak banget. Ada yang S2 ke luar negeri, ada yang buka usaha, ada yang baru nikah dan bahagia. Aku? Masih kerja part time, belum juga tamat kuliah, dan kadang mikir… hidupku ini ngarah ke mana sih?”
Fika sempat berhenti kuliah selama hampir dua tahun setelah ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan. Ia menjadi tulang punggung keluarga dan harus membagi waktu antara kerja dan merawat ibunya yang mengalami depresi pascakehilangan. Saat teman-teman seangkatannya sudah wisuda, ia masih sibuk mengejar semester yang tertunda.
“Aku nggak iri,” katanya pelan, “tapi kadang ngerasa tertinggal sekali. Seolah aku gagal jadi orang.”
Fika bukan satu-satunya. Fenomena membandingkan diri dengan pencapaian orang lain di media sosial sudah menjadi pola yang sangat umum. Dalam psikologi sosial, ini disebut social comparison theory teori yang menjelaskan bahwa manusia secara alamiah akan membandingkan dirinya dengan orang lain untuk menilai nilai atau keberhasilannya sendiri.
Namun, di era digital, perbandingan ini menjadi sangat intens, cepat, dan berulang.
Budaya Hustle dan “Self-Pressure”
Kita hidup di era hustle culture: bekerja tanpa henti dianggap sebagai simbol ketekunan, produktif adalah identitas, dan burnout adalah bagian dari proses. Bahkan, ada semacam glorifikasi terhadap lelah. Kata-kata seperti “kerja dulu, healing nanti” menjadi populer dan menanamkan pesan bahwa produktivitas adalah tolok ukur utama keberhargaan.
Sayangnya, tidak semua orang punya kapasitas dan akses yang sama. Latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, hingga kesehatan mental, semua ikut menentukan “laju” seseorang. Namun karena narasi sukses diukur dengan usia dan materi, banyak dari kita merasa gagal hanya karena belum mencapai sesuatu yang “dianut umum”.
Usia 30 dan Batas yang Kita Ciptakan Sendiri
Di banyak lini masa media sosial, usia 30 kerap menjadi titik penentu: jika belum sukses, maka kamu gagal. Ini diperparah oleh konten-konten motivasi seperti:
- “Elon Musk mendirikan SpaceX di usia 30.”
- “Oprah Winfrey dipecat saat muda, tapi jadi ratu media di usia 32.”
Alih-alih menginspirasi, kutipan ini sering kali menciptakan standar yang menyiksa. Lupa bahwa setiap orang punya garis waktu yang berbeda. Kita lupa bahwa sukses tidak harus terjadi cepat, apalagi seragam.
Data dan Fakta: Generasi yang Penuh Tekanan
Menurut survei LinkedIn Indonesia (2023), 72% profesional muda merasa cemas jika belum mencapai “milestone besar” sebelum usia 30. Sementara data dari Jakarta Post dan Katadata Insight Center (2024) menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dan burnout meningkat tajam di kalangan usia 22–30 tahun.
Apa yang terjadi sebenarnya?
- Lingkungan yang kompetitif
- Ketidakpastian ekonomi
- Tuntutan untuk “menjadi luar biasa”
- Narasi motivasi yang menekan
Generasi ini tumbuh di tengah krisis multidimensi: pandemi, resesi, persaingan global, dan disrupsi digitaltapi tetap dituntut untuk “berhasil”.
Kisah yang Tidak Viral: Mereka yang Melambat, Tapi Bahagia
Tidak semua orang terpaku pada target 30 tahun. Di balik keramaian linimasa, ada kisah-kisah sunyi: orang-orang yang memilih lambat tapi tetap bertumbuh.
Rina (29), guru taman kanak-kanak di Lhokseumawe, memutuskan berhenti dari pekerjaan kantoran yang bergaji tinggi. “Aku sadar, aku capek dikejar target. Akhirnya aku pindah ke dunia pendidikan anak-anak. Gajinya biasa aja, tapi aku tenang. Aku merasa berguna.”
Cerita Rina menunjukkan bahwa makna sukses tidak selalu tentang materi atau prestise. Kadang, ia hadir dalam bentuk sederhana: damai, cukup, dan tidak dikejar-kejar rasa gagal.
Perlu Didefinisikan Ulang: Apa Itu Sukses?
Sukses, di era digital, telah direduksi jadi visual: foto rumah, sertifikat, angka saldo, atau status pekerjaan. Padahal, sukses adalah konsep yang sangat personal. Ia bisa berupa:
- Kemampuan mengatasi trauma masa lalu
- Bertahan dari depresi
- Menjadi orang tua yang hadir
- Membangun relasi sehat
- Mencapai keseimbangan hidup
Seperti yang dikatakan oleh Carl Rogers, salah satu tokoh psikologi humanistik: “Manusia akan berkembang optimal jika ia diberikan ruang untuk menjadi dirinya sendiri, bukan untuk menjadi seperti yang diharapkan orang lain.”
Hidup Tidak Harus Cepat
Di berbagai komunitas muda, mulai muncul semangat “anti-hustle” atau “slow success movement”. Gerakan ini mengajak anak muda untuk kembali memaknai proses, menghargai waktu, dan tidak menjadikan angka umur sebagai deadline mutlak.
Di Aceh sendiri, beberapa komunitas seperti “Ngopi Psikologi” dan “Kawan Bicara” sering mengadakan diskusi terbuka tentang kesehatan mental, tekanan sosial, dan redefinisi makna sukses. Ini menunjukkan bahwa banyak anak muda yang sebenarnya sadar: kita tidak harus hidup berdasarkan ekspektasi yang bukan milik kita.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Berhenti membandingkan hidup kita dengan highlight orang lain.
Sosial media adalah panggung. Kita tak bisa mengukur nilai hidup dari pertunjukan orang lain. - Izinkan diri untuk gagal.
Kegagalan bukan akhir, tapi bagian dari proses tumbuh.
- Perkuat ruang-ruang aman untuk berbicara.
Kita butuh lebih banyak komunitas yang bisa jadi tempat berbagi tanpa dihakimi.
- Rawat kesehatan mental.
Psikoterapi, journaling, meditasi, atau sekadar istirahat adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat.
- Ingat: Tidak ada kata terlambat.
Sukses itu bukan perlombaan. Ia bukan piala untuk yang tercepat, tapi hadiah bagi yang terus bertahan.
Penutup: Kita Tidak Sedang Gagal, Kita Sedang Bertumbuh
Tidak ada rumus pasti dalam hidup. Kita semua belajar, mencoba, jatuh, dan bangkit lagi. Jika hari ini kamu merasa tertinggal, lelah, atau bingung, ingatlah satu hal: kamu tidak sendirian. Dan yang terpenting, kamu tidak harus jadi apa-apa sebelum usia tertentu. Kamu hanya perlu menjadi versi terbaik dari dirimu sesuai waktu dan langkahmu sendiri.
“Jangan ukur dirimu dengan waktu orang lain. Karena waktu setiap orang tak pernah sama.”