Aceh, kopelmanews.com – Dalam pandangan Karl Marx, kesadaran bukan sekadar hasil pemikiran atau refleksi rasional, tetapi hasil dari kondisi-kondisi material, terutama hubungan seseorang dengan alat produksi. Ketika ia mengatakan, “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya”, Marx menjelaskan bahwa cara seseorang berpikir termasuk nilai, ideologi, dan pandangan hidup—terikat pada posisi sosial-ekonominya dalam struktur kelas. Itu artinya, cara berpikir orang borjuis yang memiliki alat produksi akan berbeda dari orang proletar yang menjual tenaga kerjanya.
Marx mengelompokkan masyarakat kapitalis dalam dua kelas besar: borjuis yang memiliki alat produksi dan proletar yang tidak memilikinya. Hubungan di antara dua kelas ini tidak bersifat netral, tetapi eksploitatif: borjuis menggunakan tenaga kerja proletar untuk mengumpulkan kapital. Dalam situasi ini, kesadaran borjuis cenderung mempertahankan keadaan yang ada, menciptakan gagasan seperti meritokrasi dan kebebasan individu untuk membenarkan dominasi ekonomi mereka. Sebaliknya, proletar yang tertindas sering terjebak dalam kesadaran semu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan kepentingan objektif mereka sendiri.
Keberadaan kesadaran semu ini tercipta lewat berbagai instrumen ideologis, seperti pendidikan, media, agama, dan hukum. Louis Althusser menyebutnya sebagai Ideological State Apparatuses (ISA), yang secara halus membentuk individu yang patuh pada tatanan kapitalis. Filsafat Marx menjelaskan bahwa perubahan sosial yang nyata hanya bisa terjadi jika kesadaran kelas juga bergeser, dari kesadaran semu menjadi kesadaran kelas sejati. Di titik ini, kaum proletariat mulai memahami posisinya sebagai kelas yang tertindas dan berjuang untuk membongkar struktur sosial secara revolusioner.
Pandangan Marx ini tetap hidup dan berfungsi di zaman kita sekarang. Ketidakadilan ekonomi, kesenjangan sosial, dan dominasi korporasi global mengungkap bahwa siapa yang menguasai alat produksi juga menguasai kekuasaan. Di ranah digital, kelas sosial baru seperti tech elite dan gig worker muncul, mengganti wajah ketimpangan namun menyimpan logika yang sama. Kesadaran yang tumbuh dari pengalaman ekonomi kian membentuk cara pekerja mempersepsi dunia: dari cara mereka memandang kemiskinan hingga cara mereka mengerti kesuksesan dan keadilan sosial.
Tetapi kita perlu ingat bahwa kesadaran kelas tidak muncul begitu saja hanya karena struktur sosial yang ada. Kesadaran yang mampu mengubah situasi harus dibangun lewat pendidikan yang kritis, diskusi politik, dan pengalaman kolektif dalam organisasi atau gerakan sosial. Di sinilah pendidikan dan filsafat harus berfungsi sebagai alat untuk membebaskan, bukan sekadar mengulangi ideologi yang sudah ada. Filsuf Paulo Freire yang terpengaruh oleh pemikiran Marx menghargai pentingnya kesadaran kritis untuk membebaskan manusia dari dominasi.
Karena itu, pemikiran Marx tentang kelas dan kesadaran memberi kita kacamata analisis yang tajam untuk melihat aliran kekuasaan dalam masyarakat. Dalam situasi sosial dan teknologi yang bergerak cepat, penting untuk terus memikirkan posisi kelas kita dan relasi produksi yang ada. Hanya dengan begitu masyarakat bisa menjadi subjek aktif dalam perubahan alih-alih sekadar menjadi objek yang terombang-ambing oleh perubahan yang mereka inginkan.