Aceh, kopelmanews.com – Sudah hampir satu setengah dekade sejak Muammar Gaddafi tumbang, namun Libya tahun 2025 belum juga menemukan jalan pulangnya. Negara ini masih berkutat dalam bayang-bayang perang saudara yang tak pernah benar-benar berakhir. Dua pemerintahan paralel—yang satu berbasis di Tripoli dan yang lain di Benghazi—masih bersaing untuk legitimasi. Milisi bersenjata masih menguasai sebagian besar wilayah. Sementara rakyat, yang lelah dengan konflik, kini menggantungkan harapan mereka bukan lagi pada negara, tetapi pada keimanan yang mereka jaga dalam diam.
Masjid-masjid di Tripoli, Misrata, hingga kota tua Derna memang masih berdiri, tetapi banyak yang rusak, tak terurus, atau hanya menyala dengan lampu seadanya. Di tengah kekacauan ini, para imam tak lagi berdiri hanya sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai mediator konflik, guru, bahkan relawan bantuan kemanusiaan. Mereka menjadi benteng terakhir yang masih dipercaya masyarakat, ketika institusi politik, keamanan, dan hukum telah kehilangan fungsinya.
Islam di Libya tahun 2025 bukan lagi wacana ideologis yang diperdebatkan di forum internasional. Ia hadir sebagai perisai sunyi yang menguatkan masyarakat untuk tetap hidup. Di banyak wilayah yang terisolasi akibat konflik, Al-Qur’an bukan hanya dibaca sebagai kitab suci, tetapi sebagai sumber ketenangan batin di tengah suara drone, ledakan, dan bayang-bayang milisi bersenjata yang datang sewaktu-waktu.

Anak-anak di Benghazi dan Sirte tetap mengaji, meski bangku madrasah mereka kini diganti tikar lusuh di sudut rumah. Di beberapa kota, pelajaran agama disampaikan lewat aplikasi ponsel karena tidak ada guru tetap. Santri-santri kecil belajar dari hafalan suara orang tua mereka yang dulu pernah mengenyam pendidikan. Bahkan dalam ketiadaan listrik dan buku, Islam tetap diteruskan lewat suara dan ingatan.
Dalam banyak keluarga, para ibu memainkan peran penting menjaga nilai-nilai agama. Mereka menjadi guru pertama di rumah, menyampaikan ajaran Islam bukan lewat buku, tetapi lewat lisan, lewat cerita Nabi di tengah makan malam yang seadanya. Dalam sunyinya dapur yang tidak lagi lengkap, para ibu menyelipkan doa-doa pendek di sela-sela kehidupan sehari-hari. Seolah-olah agama menjadi bahan pokok terakhir yang masih bisa disajikan dengan penuh cinta.
Libya 2025 juga menyaksikan lahirnya gerakan dakwah digital dari para pemuda yang ingin membawa harapan di tengah hancurnya ruang publik. Di TikTok dan Instagram, muncul akun-akun keislaman dari remaja Benghazi dan Tripoli yang menyampaikan pesan-pesan motivasi Islami, nasihat kesabaran, hingga bacaan Al-Qur’an dengan latar video reruntuhan kota mereka. Bagi mereka, ini bukan hanya ekspresi iman, tapi juga perlawanan halus terhadap trauma perang.
Namun tidak semua nyaman. Islam juga sedang diperebutkan oleh berbagai kelompok politik dan milisi. Di beberapa wilayah, fatwa menjadi alat legitimasi kekuasaan, dan para ulama ditekan untuk berpihak. Hal ini memunculkan fragmentasi di kalangan umat, antara mereka yang menjadikan agama sebagai alat kontrol, dan mereka yang menjadikannya sebagai sumber ketenangan dan solidaritas. Ini menambah luka dalam tubuh umat Islam di Libya.
Meski demikian, masyarakat bawah tetap memilih jalan damai. Mereka menolak untuk menyeret agama ke dalam kekerasan. Di banyak kamp pengungsian internal, salat berjemaah dan sedekah sesama pengungsi menjadi penguat ikatan sosial. Di sini, Islam bukan hanya ibadah, tetapi juga solidaritas dalam keterasingan.
Upaya pembangunan kembali Libya secara formal terus digembar-gemborkan oleh PBB, Uni Afrika, dan negara-negara donor. Tapi rakyat kecil tahu bahwa perubahan tidak datang dari konferensi, melainkan dari ketabahan sehari-hari. Dan dalam ketabahan itu, mereka menggenggam Islam seperti seseorang menggenggam nafas terakhir di tengah tenggelamnya kapal. Satu-satunya yang mereka punya, dan tidak bisa dirampas oleh siapa pun.
Islam di Libya hari ini bukan Islam yang dipamerkan dengan retorika politik atau pembangunan masjid megah. Ini adalah Islam yang diam-diam hidup di antara reruntuhan, di antara luka yang tidak selesai, di antara keluarga-keluarga yang berjuang untuk tetap beriman di tengah dunia yang tampaknya melupakan mereka. Ini adalah Islam yang hidup, bukan sebagai simbol, tetapi sebagai kekuatan jiwa.
Di tahun 2025 ini, dunia mungkin sudah mengalihkan perhatian dari Libya. Tapi rakyat Libya tidak menyerah. Mereka tetap berdiri, melangkah pelan, dan menyebut nama Allah di setiap langkah mereka. Tidak untuk menunjukkan kekuatan, tapi untuk tetap menjadi manusia di tengah dunia yang tampaknya kehilangan kemanusiaan.
Ketika negara gagal hadir, dan dunia memilih lupa, Islam tetap menjadi satu-satunya yang tidak pergi dari kehidupan rakyat Libya. Mereka bertahan bukan karena kekuasaan, tetapi karena iman. Dan dalam iman itulah mereka menemukan harapan yang mungkin tidak besar, tapi cukup untuk melewati hari ini dan menyambut esok—meski dengan langkah yang terseok.