Aceh, kopelmanews.com – Kita semua pernah merasakannya—tangan dingin saat diminta presentasi, jantung berdebar saat dosen menunjuk nama, atau rasa malu yang tidak rasional saat bertanya di depan kelas. Sebagai mahasiswa psikologi, saya makin sadar bahwa rasa takut itu bukan sekadar kurang percaya diri. Itu adalah bagian dari dinamika psikologi sosial yang hidup dalam budaya akademik kampus kita.
Psikologi sosial tidak melulu soal eksperimen klasik seperti Milgram atau Asch. Di balik itu, ada realitas psikologis yang membentuk perilaku kita dalam kelompok, termasuk dalam dunia perkuliahan. Dalam konteks mahasiswa, budaya kompetitif, tekanan performatif, dan ketakutan terhadap evaluasi sosial menjadi medan konflik internal yang jarang disadari.
Budaya Akademik dan Tekanan Sosial Lingkungan kampus secara tidak langsung menciptakan norma-norma sosial yang menentukan perilaku “aman” dan “berisiko”. Bertanya di kelas, misalnya, bisa jadi dianggap “cari perhatian” atau “sok tahu”. Akibatnya, banyak mahasiswa lebih memilih diam, meskipun sebenarnya mengerti atau ingin tahu lebih dalam.
Fenomena ini erat kaitannya dengan evaluation apprehension—ketakutan dinilai oleh orang lain—yang dijelaskan dalam teori Zajonc (1965) tentang pengaruh kehadiran sosial terhadap performa. Dalam kondisi “ditonton”, mahasiswa bisa mengalami penurunan performa jika belum merasa terampil (social inhibition), sedangkan mereka yang sudah percaya diri justru tampil lebih baik (social facilitation).Artinya, bukan hanya kesiapan kognitif yang penting, tapi juga konteks sosial yang mendukung atau menghambat perilaku akademik mahasiswa.
Dampaknya Lebih Dalam dari yang Kita DugaJika dibiarkan, tekanan sosial semacam ini bisa membentuk mahasiswa menjadi pribadi yang pasif, takut mencoba, dan terlalu fokus pada penerimaan sosial daripada proses belajar itu sendiri. Ini juga bisa berdampak pada conformity—di mana seseorang mengikuti pendapat mayoritas meski bertentangan dengan pikirannya sendiri (Asch, 1951).
Lebih jauh lagi, mahasiswa bisa mengalami pluralistic ignorance—keyakinan bahwa dirinya sendirilah yang “aneh” atau “kurang paham”, padahal sebenarnya banyak teman sekelas juga merasakan hal serupa.Psikologi Sosial untuk Mahasiswa: Solusi dari DalamSebagai mahasiswa psikologi, kita tidak bisa hanya menyalahkan sistem.
Kita harus mulai mengubah cara pandang kita sendiri terhadap kelas sebagai ruang tumbuh, bukan ruang penghakiman. Ini bisa dimulai dari hal sederhana: aktif bertanya, memberi dukungan saat teman berbicara, atau bahkan mengajak diskusi informal setelah kelas.
Dosen juga memiliki peran penting dalam membentuk iklim sosial yang suportif. Dalam suasana yang tidak mengintimidasi, mahasiswa akan lebih berani menunjukkan potensi akademiknya. Seperti yang dikatakan oleh Aronson et al. (2019), lingkungan sosial yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar dan rasa keterlibatan individu dalam kelompok.