Aceh, kopelmanews.com – Saya sering mendengar komentar seperti ini di berbagai forum diskusi: “Kan sama saja, Arab Melayu itu bahasa Arab yang ditulis untuk orang Melayu.” Atau yang lebih menyebalkan lagi: “Jawi itu cuma bahasa Arab pakai huruf Arab, apa bedanya?”
Sebagai seseorang yang telah bertahun-tahun bergulat dengan kedua tradisi linguistik ini, saya merasa perlu meluruskan kesalahpahaman yang terus mengakar di masyarakat kita. Bahasa Arab dan bahasa Arab Melayu (Jawi) adalah dua hal yang sangat berbeda, dan menyamakannya adalah bentuk ketidakadilan terhadap kekayaan intelektual nenek moyang kita.
Kesalahan Fatal dalam Pemahaman Masyarakat
Mari kita mulai dari kesalahan paling mendasar. Banyak orang mengira bahwa Arab Melayu adalah “bahasa Arab yang disederhanakan” atau “bahasa Arab versi Melayu.” Ini sama saja dengan mengatakan bahwa tulisan Inggris dengan huruf Latin adalah “bahasa Latin yang disederhanakan.” Absurd, bukan?
Yang terjadi sebenarnya adalah sebuah prestasi intelektual yang luar biasa. Nenek moyang kita mengambil sistem aksara Arab—yang dirancang untuk bahasa Semitik dengan struktur yang sangat berbeda—dan dengan jenius mereka adaptasi untuk bahasa Austronesia seperti Melayu. Ini bukan pekerjaan “menyederhanakan,” ini adalah inovasi linguistik tingkat tinggi.
Ketika Huruf Arab Bertemu Jiwa Melayu
Coba bayangkan tantangan yang dihadapi cendekiawan Melayu abad ke-14. Mereka harus menulis bunyi seperti “nga” (ڠ), “nya” (ڽ), “ca” (چ), dan “pa” (ڤ) yang tidak ada dalam bahasa Arab. Solusi mereka? Memodifikasi huruf Arab dengan menambahkan titik-titik di tempat yang tepat. Ini bukan sekadar “menyalin,” ini adalah proses kreatif yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang kedua sistem bahasa.
Saya sering bertanya-tanya, berapa banyak dari kita yang menghargai kerja keras intelektual ini? Berapa banyak yang menyadari bahwa ketika kita membaca “بسم الله الرحمن الرحيم” dalam konteks Melayu, kita sedang menyaksikan hasil sintesis budaya yang luar biasa?
Tragedi Kehilangan Identitas Linguistik
Yang membuat saya sedih adalah bagaimana kita, sebagai generasi modern, justru semakin menjauh dari warisan ini. Di sekolah-sekolah, Jawi diajarkan sebagai “cara lain menulis Melayu,” bukan sebagai sistem linguistik yang memiliki karakteristik uniknya sendiri. Di pesantren, siswa belajar bahasa Arab tanpa memahami bagaimana tradisi Arab Melayu telah membentuk cara kita memahami Islam di Nusantara.
Akibatnya? Kita kehilangan nuansa. Ketika membaca karya-karya klasik seperti Hikayat Hang Tuah atau Taj al-Salatin dalam versi Jawi, kita kehilangan layer makna yang hanya bisa dipahami melalui pemahaman yang tepat tentang bagaimana bahasa Arab dan Melayu berinteraksi dalam sistem tersebut.
Dampak Praktis dari Kesalahpahaman Ini
Kesalahpahaman ini bukan hanya soal akademis. Ini memiliki dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari:
- Dalam Pendidikan Agama: Banyak ustaz dan guru yang mengajarkan terminologi Arab dalam konteks Indonesia tanpa memahami bagaimana kata-kata tersebut telah mengalami adaptasi makna dalam konteks Melayu. Hasilnya adalah pemahaman yang kaku dan tidak kontekstual.
- Dalam Pelestarian Budaya: Program-program pelestarian Jawi sering terjebak dalam dilema: mau diajarkan sebagai “bahasa Arab” atau “tulisan Melayu”? Akibatnya, yang diajarkan sering kali adalah versi yang tidak autentik dari keduanya.
- Dalam Kajian Sejarah: Peneliti sering kesulitan memahami dokumen-dokumen historis Melayu karena mendekatinya dengan kacamata bahasa Arab murni atau bahasa Melayu murni, padahal dokumen-dokumen itu adalah produk hibridasi kedua tradisi.
Mengapa Ini Penting untuk Masa Depan
Saya percaya bahwa pemahaman yang tepat tentang perbedaan ini adalah kunci untuk masa depan intelektual kita. Di era globalisasi ini, kita membutuhkan identitas yang kuat namun tidak terisolasi. Tradisi Arab Melayu adalah contoh sempurna bagaimana suatu budaya bisa mengadopsi pengaruh luar tanpa kehilangan karakteristik dasarnya.
Bayangkan jika kita bisa menerapkan model ini dalam konteks modern. Bagaimana kita mengadopsi teknologi dan pengetahuan global tanpa kehilangan jiwa Indonesia? Bagaimana kita berpartisipasi dalam percakapan internasional tanpa menjadi carbon copy dari budaya lain?
Langkah-Langkah yang Perlu Kita Ambil
Pertama, kita perlu mengakui bahwa Arab Melayu adalah sistem linguistik yang berdiri sendiri dengan karakteristik uniknya. Ini bukan “bahasa Arab untuk orang Melayu” atau “bahasa Melayu pakai huruf Arab.” Ini adalah hasil sintesis kreatif yang layak dihormati sebagai prestasi intelektual.
Kedua, dalam konteks pendidikan, kita perlu mengajarkan Arab Melayu sebagai subjek tersendiri, bukan sebagai appendix dari pelajaran bahasa Arab atau bahasa Melayu. Siswa perlu memahami sejarah, karakteristik, dan keunikan sistem ini.
Ketiga, kita perlu mendorong penelitian yang lebih mendalam tentang bagaimana tradisi Arab Melayu telah membentuk cara berpikir dan berekspresi masyarakat Nusantara. Ini bukan hanya soal linguistik, tapi juga soal sejarah intelektual dan budaya.
Penutup: Menghormati Warisan, Membangun Masa Depan
Di akhir tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa ini bukan tentang superiority complex atau romantisasi masa lalu. Ini tentang menghormati kompleksitas dan kecanggihan warisan intelektual kita.
Ketika kita memahami bahwa nenek moyang kita mampu menciptakan sistem linguistik hibrida yang sophisticated, kita seharusnya merasa bangga sekaligus terinspirasi. Mereka menunjukkan bahwa kita bisa menjadi global tanpa kehilangan identitas, bisa belajar dari tradisi lain tanpa menjadi replika.
Saatnya kita berhenti menyederhanakan yang kompleks dan mulai menghargai yang unik. Bahasa Arab dan Arab Melayu adalah dua harta karun yang berbeda, dan keduanya layak mendapat tempat yang terhormat dalam kesadaran kolektif kita.
Karena pada akhirnya, memahami perbedaan bukan tentang memisahkan, tapi tentang menghargai keragaman dalam persatuan.