Aceh, kopelmanews.com – Keluarga idealnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi setiap anggotanya. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua keluarga mampu menjalankan peran tersebut. Kasus inses antara orang tua dan anak atau saudara kandung, yang sering kali tersembunyi di balik dinding rumah, menjadi bukti bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan yang seharusnya paling melindungi.
Fenomena inses masih menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka di masyarakat. Keterbatasan informasi dan minimnya edukasi mengenai batasan dalam hubungan keluarga sering kali membuat korban tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan seksual. Selain itu, rasa malu dan takut akan stigma sosial membuat banyak kasus tidak pernah terungkap, sehingga pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, dan korban terus menderita dalam diam.
Inses merupakan bentuk pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Menurut penelitian oleh Sari dan Salsabila (2023) faktor penyebab inses terbagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal mencakup dorongan biologis dan psikologis pelaku, seperti nafsu seksual yang tidak terkendali, rendahnya harga diri, dan kurangnya interaksi sosial. Faktor eksternal meliputi lemahnya pengawasan keluarga, pola asuh yang salah, pengaruh teknologi seperti akses pornografi, serta tekanan atau paksaan dari pelaku. Sementara itu, Swarianata (2016) mengungkapkan bahwa inses bukan hanya bertentangan dengan norma hukum dan sosial, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dan akhlak, yang bahkan dapat mengikis keimanan pelaku. Rendahnya kesadaran dan pemahaman agama sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya inses.
Analisis terhadap kasus-kasus inses saudara kandung menunjukkan bahwa banyak dari pelaku dan korban berasal dari keluarga dengan struktur yang tidak sehat. Kurangnya komunikasi terbuka, ketidakhadiran emosional orang tua, dan adanya rahasia keluarga yang disembunyikan menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pelecehan. Selain itu, minimnya pendidikan seksual yang komprehensif dan terbuka di lingkungan keluarga maupun institusi pendidikan turut berkontribusi terhadap kurangnya pemahaman anak-anak dan remaja tentang batasan-batasan dalam hubungan antar anggota keluarga.
Kasus inses yang terjadi tidak hanya meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi korban, tetapi juga merusak struktur dan fungsi keluarga sebagai unit sosial. Korban sering kali mengalami gangguan emosional, kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal, dan kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang terdekat. Di sisi lain, keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menjadi sumber penderitaan, menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pendekatan yang holistik dan berkelanjutan sangat diperlukan. Pemerintah dan lembaga terkait harus memperkuat sistem pelaporan dan perlindungan bagi korban inses, termasuk menyediakan layanan konseling dan rehabilitasi yang mudah diakses. Pendidikan seksual yang komprehensif harus diperkenalkan sejak dini, dengan melibatkan orang tua, guru, dan tokoh masyarakat dalam proses edukasi. Selain itu, kampanye sosial yang bertujuan untuk menghapus stigma terhadap korban dan mendorong pelaporan kasus inses perlu digalakkan agar masyarakat lebih sadar dan responsif terhadap isu ini.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai moral, agama, dan budaya, kita memikul tanggung jawab bersama untuk menjaga kesucian keluarga sebagai ruang perlindungan, bukan ancaman. Inses seharusnya tidak menjadi topik yang dibungkam oleh rasa malu, melainkan menjadi panggilan moral untuk membangun keluarga yang berlandaskan kasih sayang, batasan yang sehat, dan nilai-nilai luhur yang kita warisi bersama. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan lingkungan keluarga yang benar-benar aman dan bebas dari kekerasan seksual.
1 Komentar
Sangat bermanfaat