Oleh Dr. Abd. Rozak, M.Si.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengantar
at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa al-mudarris ahammu mina-t-thariqah,
wa ruhu-l-mudarris ahammu mina-l-mudarris nafsihi. (K.H. Hasan Abdullah Sahal)
Guru sebagai “rasul kebangunan” yang memiliki tugas mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun karakter nasional. Guru sebagai agen perubahan yang bertugas mengarahkan bangsa menuju kebangkitan spiritual, moral, dan intelektual (Soekarno, Presiden Proklamator Kemerdekaan Indonesia).
Guru sebagai “pekerja moral” yang tugasnya tidak hanya mendidik secara intelektual tetapi juga membangun moral dan karakter generasi muda (Mohammad Hatta, Wakil Presiden dan Proklamator Kemerdekaan Indonesia)
Guru merupakan komponen utama dan berada dalam posisi yang teramat penting dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Keberadaannya tidak dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi sejak dulu hingga akhir perjalanan kehidupan manusia. Dalam perjalanan kehidupan manusia guru senantiasa menyalakan obor untuk memberikan penerangan dan pencerahan jalan kehidupan mansuia di suasana gelap. Api pencerahan terus dinyalakan oleh guru di sepanjang jaman.
Pemahaman tentang hakikat keberadaan guru dalam pendidikan melibatkan berbagai perspektif teoritis yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan, baik dari sudut pandang filsafat pendidikan, psikologi. Karena itu guru memiliki peran yang sangat fundamental dan strategis dalam membangun peradaban manusia melalui perannya di dunia pendidikan yang bukan saja sekadar sebagai penyampai pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sangat penting sebagai pembentuk karakter unggul, pembimbing, fasilitator, dan inspirator siswa dalam belajar. maupun sosiologi.
Guru adalah sosok atau figur yang oleh Soekarno disebut sebaai ”Rasul Kebangunan” yang tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk karakter, nilai, dan moralitas peserta didik. Keberadaan guru dalam pendidikan tidak hanya dilihat sebagai profesi, tetapi juga sebagai panggilan moral dan spiritual. Para ahli pendidikan, baik di level global maupun lokal, memiliki pandangan yang berbeda tentang hakikat dan peran penting guru dalam proses pendidikan.
Soekarno menganggap guru sebagai “rasul kebangunan” yang memiliki peran sentral dalam membangkitkan semangat perjuangan dan nasionalisme di kalangan rakyat. Dalam pandangannya, guru tidak hanya mendidik anak-anak bangsa secara akademis, tetapi juga harus dapat menanamkan semangat kebangkitan dan kesadaran untuk meraih kemerdekaan serta memajukan bangsa. Soekarno melihat guru sebagai pembawa perubahan sosial dan pemangkin kemajuan bangsa.
Guru sebagai “rasul kebangunan” memiliki tugas mulia, yaitu membangkitkan semangat rakyat untuk mencapai kemajuan. Dalam hal ini, istilah “rasul” merujuk pada figur yang membawa perubahan dan kebangkitan, seperti halnya seorang rasul dalam agama yang membawa wahyu untuk perubahan masyarakat. Guru dalam pandangan Soekarno adalah figur yang menyalakan api semangat perjuangan bagi generasi muda untuk memperjuangkan kemerdekaan dan menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Soekarno pernah mengatakan “Guru adalah rasul kebangunan, yang membawa semangat dan cita-cita untuk kemajuan bangsa, yang dengan ketulusan hati mendidik generasi muda untuk menjadi penerus bangsa yang berbudi pekerti luhur dan bersemangat juang tinggi.”
— Soekarno
Dalam pandangan Soekarno tersebut bahwa di tangan guru, terletak harapan besar untuk membangun sebuah bangsa yang kuat dan mandiri. Oleh karena itu, dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa, guru memiliki kedudukan yang sangat penting, tidak hanya sebagai pengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pelopor dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan kebangsaan.
Makna Hakiki Jiwa atau Ruh Guru
Jiwa atau ruh guru merupakan esensi keberadaan seorang pendidik yang melampaui tugas teknis pengajaran. Ruh guru mencerminkan semangat, nilai, dan integritas moral yang menjadi pondasi dalam menjalankan profesi keguruan. Dalam konteks ini, ruh guru tidak hanya berkaitan dengan kapasitas intelektual, tetapi juga keterhubungan emosional, spiritual, dan etis yang mendalam terhadap peserta didik dan dunia pendidikan.
Ruh seorang guru mencakup 1). Komitmen keprofesian terhadap pembelajaran dimana guru mengabdikan diri untuk membimbing peserta didik meraih pengetahuan mumpuni dan keterampilan yang relevan; 2. Kehadirannya yang mengnspirasi siswa, dimana kehadiran guru memberikan contoh teladan melalui karakter unggul dan perilaku yang membangun jiwa dan semangat belajar siswa yang menyala tiada henti; 3. Spiritualitas yang ditunjukkan guru dalam mengajar terpancar melahirkan energi positif dalam menanamkan dan membentuk nilai-nilai luhur kepada siswa, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, baik secara eksplisit maupun implisit dalam proses pembelajaran; 4. Sinar empati menembus ruang kejiwaan siswa didik melalui interaksi edukasi yang humanis, menghargai keberagaman, dan membantu setiap siswa mengembangkan potensi dan talenta terbaiknya.
Pandangan Ahli tentang Jiwa atau Ruh Guru
Paulo Freire (1921-1997) seorang ahli Pendidikan kritis dari Brazil dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (2000), Freire menekankan bahwa seorang guru harus memiliki kesadaran kritis dan bersifat humanistik. Guru harus menjadi fasilitator tangguh yang dapat membantu siswa membangun kesadaran akan realitas sosial di sekitarnya. Ruh seorang guru tercermin dalam kemampuannya untuk menciptakan pembelajaran yang memerdekakan.
Martin Buber (1878-1965) dalam bukunya I and Thou, (1970) berpendapat bahwa pendidikan adalah hubungan antara “Aku” dan “Kamu” yang sejati. Karena itu ruh guru hadir ketika guru membangun hubungan dialogis yang tulus dengan peserta didik dan mampu menciptakan ikatan yang memungkinkan pembelajaran otentik berlangsung.
Seyyed Hossein Nasr (1933–) dalam bukunya yang berjudul Knowledge and the Sacred (1997) menekankan bahwa seorang guru memiliki tugas spiritual yang mengakar pada nilai-nilai wahyu. Ruh guru adalah aspek spiritualitas yang mendorong mereka menjadi teladan moral dan intelektual bagi murid-muridnya.
Seyyed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya yang berjudul Konsep Pendidikan dalam Islam: Kerangka Filosofis Pendidikan Islam (1993) dan Islam dan Sekularisme (1987) menegaskan bahwa ruh guru merupakan esensi dari peran dan tanggung jawab guru dalam pendidikan, yang tidak hanya terbatas pada penyampaian ilmu pengetahuan, tetapi juga mencakup pembentukan karakter dan moralitas siswa. Al-Attas menekankan bahwa seorang guru harus menjadi teladan bagi muridnya dalam hal integritas moral dan intelektual.
Guru, sebagai pembimbing yang memberikan pencerahan harus memiliki niyyah atau niat yang benar untuk mendidik dan membentuk pribadi siswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berbudi pekerti luhur. Oleh karena itu, ruh guru berhubungan erat dengan kemampuan guru untuk mentransformasi siswa menjadi individu yang unggul (berakhlak karimah), yang tidak hanya memahami ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu mengintegrasikan ilmu dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
Selanjutnya tokoh dan bapak pendidikan yang sekaligus pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dalam bukunya yang berjudul Pemikiran dan Prinsip Pendidikan (1961) menegaskan bahwa guru harus mampu menjadi teladan, memberi semangat, dan mengarahkan siswa dengan cara yang menghormati kemandirian mereka. Ruh guru adalah landasan dalam melaksanakan prinsip “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”
Menjaga Ruh al-Mudarris (Jiwa Guru) Tetap Menyala di Era Teknologi Digital Artificial Intelligence (AI)
Di era Artificial Intelligence (AI), peran guru sebagai pendidik, pembimbing, dan pembentuk karakter unggul tetap teramat penting meskipun dihadapkan pada tantangan besar. Hadirnya teknologi digital dalam bentuk teknologi cerdas Artificial Intelligence (AI), yang mampu mengotomasi banyak fungsi dan kerja manusia yang digantikan dengan AI di berbagai sektor kehidupan manusia termasuk di dunia pendidikan, tetapi ruh al-mudarris atau jiwa guru tetap menjadi elemen kunci yang tidak dapat digantikan oleh mesin bernama Artificial Intelligence (AI).
Ruh al-mudarris mencakup dimensi spiritual, moral, dan emosional yang mrlrkat pada diri seorang pendidik yang dapt menjadikan proses pembelajaran yang dilaksanakan lebih manusiawi, penuh kesadaran, bermakna dan membahagiakan (deep learning). Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang menghubungkan pengetahuan duniawi dengan nilai-nilai spiritual, dan guru berperan sebagai pengarah dalam perjalanan spiritual dan intelektual siswa.
Dimensi spiritual dalam ruh al-mudarris mengacu pada keikhlasan, pengabdian, dan hubungan spiritual guru dengan Allah SWT sebagai fondasi utama dalam mendidik. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik sehingga mampu menjaga diri siswa dari berbagai gempuran arus negatif dan destruktif hadirnya teknologi digital dan arus globalisasi.
Dimensi moral dan etis dalam ruh al-mudarris mencakup tanggung jawab guru untuk menanamkan nilai-nilai luhur, moral dan etika kepada peserta didik dan membentuk karakter tangguh pada diri siswa di tengah derasnya pengaruh teknologi digital Artificial Intelligence (AI) yang sering kali netral secara moral dan etis.
Dimensi emosional dalam ruh al-mudarris meliputi wujud kecerdasan emosional seorang guru yang memungkinkan mereka mampu membangun relasi manusiawi dan sentuhan kemanusiaan dengan peserta didik, sebagai kondisi yang tidak dapat dilakukan oleh mesin teknologi digital Artificial Intelligence (AI).
Karena itu di era Era Artificial Intelligence (AI) peran guru teramat penting dan strategis yaitu di sebagai pemandu nilai, dimana guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membimbing peserta didik untuk menggunakan teknologi secara etis, bijaksana dan bertanggung jawab. Selanjutnya guru berperan sebagai penjaga adab digital (digital ethic) dimana guru bertugas mendidik peserta didik tentang etika dalam menggunakan teknologi, seperti kejujuran akademik, privasi, dan penghormatan terhadap orang lain. Terkahir peran guru sebagai teladan dalam adaptasi teknologi dimana guru harus menunjukkan diri sebagai figur yang dapat menggunakan teknologi digital Artificial Intelligence (AI) secara positif untuk mendukung pembelajaran dan kehidupan, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Tantangan Guru di Era Artificial Intelligence (AI) begitu kompleks dan mendasar karena AI akan menggantikan peran tradisional dalam pembelajaran dimana teknologi AI dapat menggantikan beberapa tugas guru sebagai pengajar, seperti penyampaian materi dan penilaian otomatis. Ketergantungan pada teknologi digital termasuk teknologi Artificial Intelligence (AI) pada peserta didik dan guru sama-sama berisiko karena mengabaikan pentingnya interaksi manusia (human relation) yang bisa jadi akan melahirkan terjadinya erosi nilai-nilai kemanusiaan. Pemanfaatan teknologi tanpa panduan etiks yang kokoh dapat melemahkan nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan sosial manusia termasuk juga dalam proses pendidikan.
Langkah-Langkah Menjaga Ruh al-Mudarris Tetap Menyala dalam pelaksanaan tugas keprofesian antara lain melalui :
- Penguatan Keikhlasan dan Spiritualitas. Guru perlu memperkuat hubungan spiritual dengan Allah SWT melalui ibadah, dzikir, dan doa. Memahami bahwa profesi guru adalah amanah yang luhur dan ibadah. Membekali diri dengan nilai-nilai Islam sebagai panduan moral dalam menghadapi tantangan teknologi.
- Pengembangan Kompetensi Digital Berbasis Nilai. Guru harus menguasai teknologi Artificial Intelligence (AI), yang dalam penggunaannya sebagai alat pendukung tugas keprofesian, bukan pengganti esensi manusiawi dalam pendidikan. Selanjutnya dapat memastikan bahwa teknologi digital Artificial Intelligence (AI), digunakan untuk mendukung tujuan pendidikan yang beradab.
- Fokus pada Pendidikan Karakter dan Adaptif. Guru harus menjadi teladan dalam adab, akhlak dan karakter, karena hal tersebut tidak dapat diajarkan oleh teknologi digital Artificial Intelligence (AI). Selanjutnya guru membimbing peserta didik untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab moral sebagai hal yang mendasar dalam kehidupan manausia.
- Meningkatkan Kecerdasan Emosional. Guru harus memahami kebutuhan emosional peserta didik, terutama dalam menghadapi dunia yang semakin terdigitalisasi.. Memberikan perhatian personal yang tidak dapat digantikan oleh teknologi digital Artificial Intelligence (AI).
- Mengintegrasikan Teknologi dengan Nilai Agama dalam hal ini Agama Islam. Guru memanfaatkan teknologi digital Artificial Intelligence (AI) untuk mempermudah pembelajaran, tetapi tetap mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan pembelajarannya. Guru berperan sebagai filter dalam memilih teknologi digital Artificial Intelligence (AI). yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan tujuan pendidikan Islam.
- Menciptakan Lingkungan Belajar Kolaboratif. Guru menggunakan teknologi digital Artificial Intelligence (AI) untuk mendorong kolaborasi, bukan individualisme. Selanjutnya guru harus memastikan bahwa teknologi digital Artificial Intelligence (AI) harus memperkuat hubungan manusia dengan Pencipta (Allah) dalam hablum min Allah dan hubungan antar manusia (relasi humanitas), bukan melemahkan silaturahmi antar manusia (habblum min annas).
Kesimpulan
Menjaga ruh al-mudarris tetap menyala di era AI membutuhkan langkah kombinasi yang dilakukan guru antara penguatan spiritual, penguasaan teknologi, dan penanaman nilai-nilai adab untuk diri para guru dan kepada peserta didik. Guru harus memahami dan menyadari bahwa peran mereka melampaui transfer pengetahuan, mereka adalah penjaga nilai moral, spiritual, dan emosional di tengah kemajuan teknologi digital Artificial Intelligence (AI). Guru tetap menjadi aktor utama dan strategis sampai kapanpun dalam membentuk generasi yang beradab dan berilmu serta terampil sebagai generasi emas Indonesia, meskipun teknologi digital Artificial Intelligence (AI) terus berkembang pesat dan dinamika sosial yang terus melaju. Dengan kata lain guru akan tetap menjadi figur yang eksis bila dapat memerankan diri sebagai figur yang adaptif, berpikiran ke depan, dan berkomitmen dengan tugas keprofesian dengan terus menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat.
Tantangan utk LPTK dalam membentuk ruh almudarris terpatri pada diri para calon guru yang dihasilkan proses pendidikannya selama ini. Pertanyaannya sudah kah hal itu terjadi dan sejauhmana proses pembelajaran di LPTK didesain mengarah pada hadirnya calon guru dan guru profesional yang mampu menjaga ruh al mudarris sejalan dengan kemajuan teknologi digital Artificial Intelligence (AI) dan dinamika sosial dan global saat ini.
Selamat HARI GURU semoga RUH ALMUADARRIS (JIWA GURU) tetap terjaga dan terus menyala di tengah kemajuan teknologi digital Artificial Intelligence (AI).
18 Comments
Opini ini sangat bermakna, terutama di era AI saat ini. Pesan utamanya jelas: guru memiliki peran yang jauh lebih besar daripada sekadar mengajar. Guru adalah pembimbing yang harus mampu menanamkan nilai moral, spiritual, dan emosional kepada peserta didik, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi. Dengan memperkuat spiritualitas, menguasai teknologi secara bijak, dan tetap fokus pada pendidikan karakter, guru akan tetap menjadi pilar utama dalam membentuk generasi yang beradab dan bertanggung jawab. Pandangan ini mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga jiwa pendidik agar terus relevan dan memberi makna di tengah kemajuan zaman.
pentingnya menjaga keseimbangan antara spiritualitas, penguasaan teknologi, dan nilai-nilai moral dalam profesi guru. Guru tetap menjadi penjaga karakter dan nilai manusiawi di tengah kemajuan AI. Penguatan keikhlasan dan kompetensi digital berbasis nilai adalah langkah strategis untuk adaptif terhadap perubahan zaman.
Secara keseluruhan, menjaga “ruh al-mudarris” tetap menyala di era AI adalah upaya yang baik, tetapi perlu diimbangi dengan pendekatan yang realistis dan berpusat pada manusia agar tidak kehilangan nilai-nilai dasar pendidikan
Saya sangat setuju dengan opini beliau karena Pentingnya menjaga jiwa guru di era kecerdasan buatan sangat ditekankan dalam pendidikan. Guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak siswa. Dalam konteks ini, metode pengajaran memang penting, tetapi jiwa dan karakter guru lebih utama, karena mereka adalah teladan bagi murid. Kualitas pendidikan yang baik dimulai dari pembinaan rohani guru, yang harus memiliki niat dan hati yang bersih untuk mendidik generasi masa depan.
Penting bagi guru untuk tetap menjaga semangat dan pengabdian nya dalam mengajar, meskipun teknologi semakin maju. Teknologi ya memang bisa membantu, tetapi peran guru dalam mendidik, memberi motivasi, dan mengajarkan siswanya dengan hati yg tulus dan lembut itu tetap tak tergantikan.
Menjaga ruh al-Mudarris (jiwa guru) tetap menyala di era kecerdasan buatan Artificial Intellegence berarti memastikan bahwa peran guru sebagai pendidik dan pembimbing tidak tergantikan oleh teknologi. Meskipun Artificial IntellegenceI dapat mendukung proses belajar, nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kreativitas, dan hubungan interpersonal tetap menjadi inti dari pendidikan. Guru harus terus menginspirasi dan membentuk karakter siswa, mengadaptasi teknologi sebagai alat bantu, namun tetap memprioritaskan aspek-aspek pendidikan yang mendalam dan bermakna.
Menurut saya Pendapat Al-Mudaris tentang tetap menghidupkan semangat guru (the spirit of the teacher) meski di era kecerdasan buatan (AI) sangatlah relevan dan penting, karena adanya mengingat perubahan besar yang terjadi di dunia pendidikan akibat perubahan tersebut terhadap kemajuan teknologi Dalam konteks ini, “Ruh al-Mudaris” mengacu pada semangat, dedikasi dan peran kemanusiaan para guru, yang tidak dapat digantikan oleh teknologi, meskipun AI menawarkan banyak kemudahan. AI dapat membantu penyampaian materi pembelajaran lebih cepat, menganalisis data siswa, dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal, namun esensi pendidikan tetap mengandalkan interaksi manusia. Guru tidak hanya dapat memberikan pengetahuan dan mengajar saja, akan tetapi juga menginspirasi, membangun karakter, dan menjadi teladan nilai-nilai moral dan sosial.
AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan kedalaman ini, karena pendidikan memerlukan empati, kreativitas, dan kebijaksanaan berdasarkan pengalaman hidup, sesuatu yang hanya dapat diberikan oleh guru manusia
Untuk menjaga ‘semangat’ guru tetap hidup di tengah perkembangan teknologi, kita harus menyadari bahwa peran guru sebagai pemimpin nilai, motivator dan pemimpin sosial tetap sangat penting
Guru harus mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk menunjang proses pembelajaran dengan tetap menjaga rasa kehadiran manusia dalam memberikan pendidikan yang holistik
Oleh karena itu, mengembangkan profesionalisme guru, melatih mereka dalam penggunaan teknologi secara bijaksana, dan menjaga hubungan emosional dengan siswa adalah kunci untuk menjaga semangat guru di tengah meningkatnya peran AI
Mempertahankan semangat al-Mudaris di era AI ini, peran manusia sebagai guru untuk mendidik, membimbing, dan memanusiakan siswa.
Sebagai mahasiswa keguruan, saya melihat bahwa opini yang disampaikan sangat relevan dan memberikan gambaran yang jelas mengenai pentingnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Fokus utama pada Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Jabatan sangat tepat, karena program ini menjadi sarana untuk memastikan bahwa guru tidak hanya memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga berkembang secara profesional dalam menjalankan tugasnya.
Poin utama yang diangkat dalam opini ini, yaitu hubungan erat antara UU Guru dan Dosen dengan PPG dalam Jabatan, menunjukkan bahwa pendidikan guru tidak hanya bersifat formal tetapi juga mengarah pada profesionalisasi yang berkelanjutan. Guru yang mengikuti PPG dalam Jabatan tidak hanya diberikan sertifikat pendidik, tetapi juga dibekali dengan kompetensi yang lebih mendalam untuk menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21. Ini sejalan dengan amanat dalam UU Guru dan Dosen, yang mengharuskan guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi mereka secara berkelanjutan.
Namun, sebagai mahasiswa keguruan, saya juga melihat beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut dalam implementasi PPG dalam Jabatan. Salah satunya adalah keberagaman akses bagi guru di daerah terpencil. Meskipun PPG bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, tantangan terbesar adalah distribusi program ini yang sering kali terkendala oleh faktor geografis dan infrastruktur yang terbatas. Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi yang lebih inklusif, seperti pembelajaran daring atau pendekatan mobile, agar program ini dapat dinikmati oleh seluruh guru di Indonesia, tanpa terkendala oleh lokasi.
Selanjutnya, konsep Guru Terinspirasi yang diangkat sangat menggugah, karena diharapkan guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga mampu menginspirasi dan mengembangkan potensi siswa secara holistik. Dalam konteks ini, Deep Learning sebagai pendekatan pembelajaran yang mendalam sangat penting, namun penerapannya harus diiringi dengan pemahaman yang kuat dari guru mengenai teknologi, serta kesiapan siswa dalam menyerap pembelajaran berbasis teknologi. Pengintegrasian TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) sangat relevan untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi dalam pembelajaran tidak hanya sebatas alat, tetapi benar-benar mendukung proses pembelajaran yang efektif dan bermakna.
Secara keseluruhan, opini ini memberikan perspektif yang sangat positif mengenai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui PPG dalam Jabatan, tetapi juga memberikan gambaran tantangan yang harus dihadapi, seperti keberagaman infrastruktur, kesiapan tenaga pendidik, dan integrasi teknologi dalam pembelajaran. Sebagai mahasiswa keguruan, saya berharap dapat berkontribusi dalam menjawab tantangan ini dan mewujudkan visi pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas di masa depan.
Meskipun teknologi AI terus berkembang, peran guru tetap sangat penting dalam menjaga nilai moral, spiritual, dan emosional. Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tapi juga membentuk karakter generasi mendatang. Tantangan bagi LPTK adalah apakah calon guru yang dihasilkan bisa menyeimbangkan penguasaan teknologi dengan penanaman nilai adab. Guru harus terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, serta tidak hanya terampil dalam teknologi, tetapi juga memiliki karakter yang baik. LPTK perlu mendesain kurikulum yang mampu membekali calon guru dengan ilmu, keterampilan, dan nilai-nilai yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Opini K.H. Hasan Abdullah Sahal dalam pernyataannya “At-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa al-mudarris ahammu mina-t-thariqah, wa ruhu-l-mudarris ahammu mina-l-mudarris nafsihi” menggarisbawahi pentingnya aspek spiritual dan moral dalam profesi guru. Pendekatan ini menggambarkan bahwa metodologi (thariqah) dalam pengajaran, meskipun penting, tidak lebih utama daripada keberadaan guru itu sendiri. Bahkan lebih dari itu, ruh atau jiwa guru dianggap sebagai inti yang paling krusial.
Dalam konteks ini, K.H. Hasan Abdullah Sahal menekankan bahwa guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar yang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga sebagai pembawa nilai dan semangat yang dapat membentuk karakter dan moral siswa. Guru memiliki peran yang lebih mendalam daripada sekadar menyampaikan materi, yaitu sebagai sosok yang mampu memberikan inspirasi dan memotivasi siswa melalui integritas dan semangat pengabdian.
Pandangan ini juga sejalan dengan pemikiran Soekarno tentang guru sebagai “rasul kebangunan”, yang memiliki tugas mulia tidak hanya untuk mentransfer ilmu tetapi juga untuk membangun semangat kebangsaan dan moralitas generasi muda. Dengan demikian, dalam era teknologi modern yang terus berkembang, guru tetap diharapkan memiliki ruh yang tidak hanya mampu mengajar secara intelektual, tetapi juga memberikan pencerahan melalui nilai-nilai moral dan spiritual, serta menjadi teladan yang mengarahkan siswa untuk tetap memegang prinsip hidup yang luhur.
ruh al-mudarris (jiwa guru) tetap menyala di era kecerdasan buatan (AI) sangat relevan. Meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi dalam proses pembelajaran, peran guru sebagai pendidik manusia tetap tak tergantikan. Jiwa guru yang penuh empati, kreativitas, dan kemampuan untuk membimbing secara personal sangat penting untuk membentuk karakter dan moral siswa. AI seharusnya tidak mengurangi kedalaman interaksi manusiawi dalam pendidikan, tetapi justru mendukung guru dalam memperkaya pengalaman belajar. Dengan demikian, menjaga semangat dan kualitas jiwa guru tetap hidup adalah kunci untuk pendidikan yang berkelanjutan di era digital.
Opini tersebut menyoroti pentingnya guru menjaga ruh al-mudarris dengan mengintegrasikan spiritualitas, teknologi, dan adab. LPTK perlu memastikan calon guru mampu menghadapi era AI dengan tetap menjadi figur moral yang strategis dan relevan.
Opini ini menekankan pentingnya guru menjaga ruh al-mudarris melalui spiritualitas, penguasaan teknologi, dan penanaman adab. Guru harus tetap menjadi figur moral yang relevan di era AI. LPTK memiliki tanggung jawab memastikan calon guru siap menghadapi tantangan teknologi dan sosial dengan tetap memegang peran strategisnya.
Menjaga semangat al-Mudarris di era kecerdasan buatan adalah tantangan karena peran guru sebagai pendidik penting. Meskipun teknologi buatan dapat memperkuat pembelajaran, hubungan manusia tetap inti pendidikan. Guru harus mengakui kebutuhan siswa secara emosional, sosial, dan moral. Guru dapat berinovasi dalam pengajaran dengan teknologi, menciptakan pengalaman belajar interaktif, memancing pemikiran kritis, dan kreatif siswa. Pendidik harus terus mengasah keterampilan, beradaptasi dengan zaman, dan menanamkan nilai-nilai pendidikan fundamental untuk memberi dampak positif bagi generasi berikutnya. Pada dasarnya nilai pendidikan dan pengembangan karakter yang ditanamkan dengan sosok guru (manusia) sangat berperan penting dan lebih konkret, didalamnya terkandung nilai keikhlasan dan kasih sayang.
Opini ini menekankan pentingnya keseimbangan antara penguasaan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan. Dengan pendekatan yang tepat, guru dapat memanfaatkan AI sebagai alat untuk meningkatkan pembelajaran tanpa mengorbankan esensi dari pendidikan itu sendiri. Ini adalah tantangan sekaligus kesempatan bagi pendidik untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan kesadaran moral yang tinggi.
Di tengah kemajuan teknologi yang memungkinkan akses informasi dengan cepat, peran guru tidak hanya terbatas pada penyampaian materi pelajaran. Mereka juga bertanggung jawab untuk membentuk nilai-nilai moral dan emosional siswa. Meskipun AI dapat membantu dalam memberikan informasi, kehadiran guru sebagai pembimbing yang empatik dan memahami konteks sosial siswa tetap sangat penting. Guru perlu beradaptasi dengan teknologi, tetapi mereka juga harus menekankan pengembangan karakter dan keterampilan sosial. Jadi, meskipun teknologi terus berkembang, peran guru sebagai pilar pendidikan yang membentuk generasi yang cerdas dan beradab tetap tidak dapat tergantikan.
Saya sangat setuju bahwa meskipun teknologi canggih sekarang seperti AI makin berkembang dan bisa menggantikan beberapa tugas dari guru , peran ruh al-mudarris alias jiwa guru adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan dan tetap jadi kunci utama dalam pendidikan. Karna teknologi mungkin bisa membantu kita membuat pembelajaran lebih mudah atau efisien, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan sisi spiritual, moral, dan emosional dari seorang guru. Membangun hubungan emosional dengan siswa adalah hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Sentuhan yang diberikan guru inilah yang membuat siswa merasa didukung, dihargai, dan dimengerti. Contoh lain seperti, guru tidak hanya mengajar kan tentang ibadah atau hubungan personal dengan Allah SWT, tapi juga soal bagaimana keikhlasan dan pengabdian mereka memengaruhi cara mereka mendidik siswa. Inilah yang membuat pendidikan tidak hanya soal transfer ilmu, tapi juga tentang membentuk manusia yang berkarakter dan beradab. Yang lebih menarik adalah artikel ini juga memberikan langkah-langkah yang sesuai dalam menjaga ruh al-mudarris di tengah gempuran AI. Mulai dari memperkuat spiritualitas dan keikhlasan, mengembangkan kompetensi digital, meningkatkan kecerdasan emosional dan pendidikan karakter sampai menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif. Semuanya sangat penting, apalagi di zaman sekarang di mana pendidikan sering lebih berorientasi ke teknologi daripada nilai-nilai kemanusiaan.
menjaga keseimbangan antara spiritualitas, penguasaan teknologi, dan nilai-nilai moral dalam profesi guru. Guru tetap menjadi penjaga karakter dan nilai manusiawi di tengah pesatnya kemajuan AI. kompetensi digital berbasis nilai adalah langkah strategis untuk adaptif terhadap perubahan zaman.